Pages

Thursday, 19 June 2014

PANCASILA SEBAGAI OBAT BANGSA


Oleh: Dedet Zelthauzallam 
Dewasa ini, Republik Indonesia sepertinya sedang dilanda oleh penyakit akut yang terminal. Dimana penyakit tersebut datang bertubi-tubi, mulai dari pangkal sampai ujung semuanya hampir terinfeksi. Penyakit yang dimaksud adalah kasus-kasus yang membelenggu cita-cita bangsa dan negara ini, seperti korupsi yang semakin merajalela, krisis etika moral, konflik SARA dan lainnya.
Korupsi yang semakin merajalela ini bisa dilihat dari jumlah pejabat di Republik ini, baik pusat maupun daerah yang terus menerus tersandung kasus korupsi. Korupsi yang dilakukan pun dilakukan dengan berbagai macam modus. Mulai dari penyalahgunaan kewenangan, penyelewengan dana bansos, permainan proyek sampai perijinan. Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, pejabat pusat sudah ada dua yang masuk jaring KPK, yaitu Hadi Poernomo (mantan Ketua BPK RI) dan Suryadarma Ali (Menteri Agama), sedangkan untuk pejabat daerah, lebih tepatnya kepala daerah, sudah ada empat yang tersandera oleh KPK, yaitu Rachmat Yasin (Bupati Bogor), Romi Herton (Walikota Palembang), Ilham Arief Sirajuddin (Walikota Makasar), Numfor Yesaya Sombuk (Bupati Biak). Ini baru tersangka korupsi yang ditetapkan oleh KPK, belum lagi yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian.
Untuk kasus etika moral ini pun semakin menyedihkan dan suram di Republik ini, khususnya di tahun 2014 ini. Banyak kasus yang sangat mendegradasi etika moral anak bangsa Republik ini, khususnya dalam masalah kekerasan seksual pada anak. Bisa dibayangkan kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak (sodomi) sangatlah parah pada tahun ini. Dimulai dari terbongkarnya kasus yang terjadi di sekolah internasional, JIS, kemudian merembet kekasus-kasus yang ada di daerah lain, seperti kasus Emon di Sukabumi. Emon melakukan tindakan yang sangatlah over yang menyebabkan lebih dari seratus anak terindikasi menjadi korbannya. Belum lagi masalah etika moral lainnya, mulai dari tidak adanya kesadaran anak bangsa untuk melaksanakan budaya warisan nenek moyang kita yang memiliki nilai-nilai yang sangat luar biasa. Belum lagi pemimpin di Republik ini yang tidak memberikan tauladan kepada yang dipimpinnya, malah mereka mempertontonkan tindakan dan prilaku yang tidak sesui dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
Dan untuk masalah SARA di Republik ini cenderung masih belum terkontrol. Ada beberapa pihak yang masih menggunakan isu SARA sebagai senjata dalam memuluskan kepentingan, sehingga inilah yang memicu instabilitas di Republik yang sangat majemuk ini. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Ini merupakan sebuah tindakan yang sangat membahayakan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).   
Dengan akutnya penyakit tersebut, maka dibutuhkanlah obat yang super untuk bisa menyebuhkan masalah yang melanda Republik ini. Obat bagi Republik ini menurut saya harus dicari di alam tanah air kita, bukan di negeri orang. Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial budaya, sistem pemaknaan dan pandangan dunia sendiri dari hasil warisan nenek moyang yang hidup berjuta tahun sebelumnya.
Tentunya obat yang dimaksud adalah Pancasila, karena Pancasila-lah yang menjadi dasar negara kita. Yang namanya dasar berarti merupakan pedoman dari segala bentuk kehidupan di Republik ini. Itu artinya semua masalah akan bermuara pada dasar negara kita, yaitu Pancasila, sehingga usaha penyembuhan yang dilakukan perlu dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa yang berlandasakan dasar falsafah dan pandangan bangsa Indonesia sendiri yang terpatri dalam kelima sila Pancasila. Pancasila juga merupakan hasil rumusan dari para pendiri bangsa yang telah mempertimbangkan aspek-aspek yang urgen melalui usaha penggalian, penyerapan, kontekstualitas, rasionalitas dan aktualisasi.  
Pancasila sebagai Obat
 Pancasila menurut sang penggagas, yaitu Ir. Soekarno, merupakan gagasan yang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia. Beliau mengatakan bahwa kita dalam mengadakan Negara Indonesia merdeka itu harus dapat meletakkan negara itu di atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, namun juga harus mempunyai tuntutan dinamis ke arah mana kita akan gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini (Yudi Latif, 2012).
Dari pernyataan Soekarno tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa Pancasila tidak disiapkan dalam kurun waktu tertentu, tetapi disiapkan untuk jangka waktu yang tak terbatas (bersifat abadi), dengan kata lain sampai Republik Indonesia hancur lebur baru Pancasila tidak menjadi landasan dasar. Itulah sebabnya, kita sebagai penerus bangsa sangatlah salah besar ketika perubahan rezim kekuasaan juga ikut mempengaruhi ketaatan kita terhadap Pancasila. Para pemegang tampuk kekuasaan seharusnya taat kepada Pancasila tanpa ada kata kompromi, bukan malah sebaliknya.
Sifat dinamis dari Pancasila hendaknya selalu diadaptasikan oleh setiap rezim maupun seluruh rakyat Indonesia untuk menghadapi  berbagai bentuk perubahan nilai-nilai, baik dalam skala nasional, regional dan global, bukan malah kita meninggalkan Pancasila sepenuhnya. Pancasila akan menjadi pembawa angin segar bagi kehidupan di era globalisasi ini, karena akan menjadi tameng kita dalam mem-filter nilai-nilai yang berasal dari luar.
Seharusnya kita semua patut bersyukur memiliki Bapak bangsa yang luar biasa jeniusnya, karena diwariskan sebuah dasar negara, Pancasila, yang mampu mengakomodir perbedaan yang bisa dipersatukan di Republik ini, dimana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak memiliki batas kadawarsa. Tidak seperti mayoritas negara-negara di dunia yang tidak memiliki dasar yang kokoh, sehingga menyebabkan mereka terbelengu dengan masalah-masalah dasar yang cenderung menjadi katalis konflik yang berujung pada pertumpahan darah antar sesama warga negara maupun kelompok masyarakat. Sebagai contoh, negara-negara Timur Tengah yang saat ini terus menerus berkonflik tanpa ujung.
Banyak pihak menilai Pancasila yang disahkan sehari pasca kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, merupakan bentuk yang paling sempurna. Dimana tujuh kata yang ada dalam sila pertama (Piagam Jakarta) akhirnya dihapus (dihilangkan). Sebelumnya tujuh kata tersebut menjadi perdebatan yang alot, antara golongan kebangsaan dan Islam. Bisa dibayangkan bagaimana tambah terpuruknya Republik tercinta kita ini apabila tidak memiliki dasar yang kuat nan sempurna. Dalam keadaan memiliki dasar negara yang luar biasa saja, Republik ini sudah terombang-ambing dengan permasalahan multidimensi yang terus menerus melanda.
Sekarang tugas kita tinggal bagaimana nilai-nilai yang ada di dalam kelima sila diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan harus tetap mematri dalam jiwa raga anak bangsa Republik ini. Nilai-nilai yang terkandung tersebut harus senantiasa diamalkan selama nafas masih berhembus. Hembusan nafas tidak boleh menjauhi kelima sila, mulai dari ke-Tuhanan sampai keadilan sosial, karena tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menompang peradaban besar (John Gardner, 1992).  Jadi kita harus percaya kepada warisan Bapak bangsa kita, yaitu Pancasila, supaya Republik Indonesia ini mampu menjadi negara yang sejajar dengan negara-negara lainnya, seperti Amerika, Republik Tiongkok, Jepang, Inggris dan lainnya.
Pemimpin sebagai Dokter
Telah saya katakan sebelumnya bahwa seluruh anak bangsa harus selalu bernafas dengan nilai-nilai Pancasila dalam setiap prilaku dan tindakannya. Itu berarti yang harus diberikan obat Pancasila adalah seluruh rakyat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tentunya dalam pemberian obat Pancasila tidak bisa serta merta langsung kepada seluruh rakyat Indonesia, tetapi harus diberikan secara berkala dan berkelanjutan. Cara pemberian obat ini pun tidak mudah, tidak seperti yang dilakukan oleh para dokter yang hanya menuliskan resep kemudian pasien langsung bisa membelinya ke apotek.  Tetapi untuk obat Pancasila dilakukan melalui suatu proses, yaitu pendidikan dan ketauladanan dari pemimpin (Presiden sampai tingkat terbawah, anggota legislatif maupun ekskutif) di Republik ini.
Pemimpin disini memiliki peran yang sangat strategis dalam mengeluarkan bangsa ini dari jeratan masalah yang multidemensi nan akut. Dimana pemimpin  di Republik ini harus menjadi pioner dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila, mulai dari ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan perwakilan sampai keadilan sosial. Kelima sila tersebut hendaknya terus menerus diamalkan dalam setiap tindakan mereka, baik yang bersifat pribadi maupun publik, karena merekalah menjadi cermin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hendaknya kebijakan yang ditelurkan harus tetap memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Artinya, bebas dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dan bebas dari intervensi siapa pun, singkat kata kebijakan tanpa KKN. Apabila hal ini bisa dilakukan, maka saya yakin dan percaya Republik yang kaya nan subur ini akan menjadi kekuatan baru di dunia. Tetapi apabila pemimpin kita tidak bisa menjadi pioner, maka bangsa ini akan tetap terebelenggu seperti dewasa ini.
Untuk itulah, kita memiliki harapan yang besar kepada pemimpin Republik ini yang akan datang, baik pemimpin politis maupun pemimpin karir harus senantiasa menjadi contoh utama. Pemimpin politis yang notabenenya dilahirkan dari partai politik yang dipilih setiap lima tahun sekali oleh rakyat hendaknya diisi oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki jiwa Pancasila, supaya tidak seperti dewasa ini yang hanya dipenuhi oleh mereka yang populer dan memiliki banyak rupiah.  
Begitu pun untuk pemimpin karir, hendaknya selalu menjadi contoh utama dalam setiap tindakan dan perbuatannya. Salah satu wadah yang bisa dikatakan sebagai pabrik pemimpin karir di Republik ini adalah lembaga pendidikan tempat kita ditempa, yaitu IPDN. IPDN sebagai salah satu wadah yang bisa diharapkan untuk memproduksi calon pemimpin (pamong praja) yang berjiwa Pancasila, karena kita ketahui bersama bahwa alumni-alumni IPDN akan menyebar ke seluruh pelosok nusantara. Diharapkan dari alumni-alumni inilah nilai-nilai Pancasila mulai digelorakan di tengah-tengah kehidupan sosial-masyarakat. Dengan begitu, maka alumni IPDN akan mendapatkan predikat sang pencerah, karena kemampuannya mematri nilai-nilai Pancasila pada dirinya dan orang lain (masyarakat).
  

Wednesday, 4 June 2014

MEMENANGKAN HATI RAKYAT

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Tak terasa Pilpres 2014 sudah memasuki pada tahap kampanye terbuka. Kampanye terbuka ini ditandai dengan adanya deklarasi kampanye damai yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu. Tema yang diangkat pun sangatlah mulia, yaitu Pilpres bertintegritas dan damai. Dimana para penyelenggara dan peserta pemilu sama-sama dituntut untuk berjanji dan bertekad dalam mewujudkan tema tersebut.
Kedua pasangan capres dan cawapres pun sama-sama mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya para simpatisan untuk tetap berada dalam koridor yang benar dalam melakukan kampanye. Artinya kampanye yang dilakukan harus benar-benar sesuai dengan aturan, baik yang tertulis maupun tidak serta tidak melanggar etika dan moral yang ada dalam lingkungan masyarakat.
Pada deklarasi tersebut, Jokowi mengatakan bahwa demokrasi yang dilakukan harus demokrasi yang mensejahterakan, bukan demokrasi yang mencelakan. Demokrasi tidak boleh dilakukan dengan tindakan intimidasi, karena demokrasi seharusnya menjadi kemenangan rakyat Indonesia. Prabowo pun mengatakan akan menghargai apa pun yang menjadi kehendak rakyat.
Apa yang telah disampaikan oleh kedua pasangan dalam deklarasi tersebut tentunya perlu dibuktikan, bukan hanya dalam retorika semata., karena bisa dilihat bagaimana isu-isu selama ini berhembus liar dalam kehidupan masyarakat. Banyak isu-isu yang beredar tidak memiliki data yang jelas, sehingga isu tersebut bisa dikatagorikan sebagai black campaign.
Black campaign yang dilakukan dewasa ini sering dilakukan diranah media sosial. Medsos menjadi wadah yang empuk dalam menyebarkan isu-isu. Apalagi para pencinta medsos terus menerus terjebak dalam informasi yang tak jelas asalnya darimana. Isu itu ada yang menyangkut masalah SARA. Padahal masalah ini sangat rentan mengganggu kedaulatan Republik yang plural ini.
Black campaign memiliki efek yang tidak baik di alam demokrasi yang hanya akan menimbulkan kerusakan yang semakin parah bagi sendi-sendi kehidupan yang akan terus menerus membelenggu masa depan Republik ini. Untuk itulah, semua pihak, khususnya peserta Pilpres yang memiliki tujuan yang sama dalam memajukan Republik ini tidak boleh terlarut dengan praktek black campaign.
Kampanye yang dilakukan pada Pilpres 2014 ini hendaknya harus bebas dari namanya black campaign, supaya presiden dan wakil presiden yang ditelurkan   mampu menjawab tantangan yang multidemensi yang sedang melanda Republik ini. Tentunya pemimpin seperti itu dihasilkan dari proses yang selalu taat pada aturan main yang sudah ditetapkan, karena ada adagium yang menyatakan bahwa lantai yang kotor tidak akan bisa dibersihkan dengan sapu yang kotor.
Hendaknya dalam melaksanakan kampanye lebih mengarah kepada hal-hal yang positif nan mendidik. Dimana para peserta dan tim dalam mengambil suara rakyat lebih memberikan formula yang jelas dalam menjawab tantangan di aras lokal, nasional, regional maupun global.  Dan yang terpenting adalah apabila melakukan serangan pada lawan harus berdasarkan pada data yang memang valid dan akurat, supaya tidak dikatagorikan sebagai black campaign.
Kampanye yang dilakukan juga hendaknya tidak diwarnai dengan kegiatan menghambur-hamburkan uang, baik untuk memobilisasi masa maupun membeli suara, karena ini akan menjadi bumerang bagi pihak tersebut, baik terpilih maupun tidak terpilih. Apabila terpilih ini akan menjadi bibit dalam menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.  
Seharusnya setiap perhelatan demokrasi di Republik ini harus bisa memenangkan hati rakyat. Artinya, rakyat sebagai konstituen yang memegang kedaulatan tertinggi harus merasa sangat bahagia ketika proses pemilu ini berjalan, berakhir maupun pada saat proses pelaksanaan amanah selama lima tahun yang akan datang. Jangan seperti saat ini yang lebih mengarah pada perasaan takut, cemas dan pesimis.
Kebahagian rakyat akan bisa tumbuh apabila para penyelenggara dan peserta pemilu memiliki komitmen dalam mengaplikasikan nilai-nilai yang berlaku di Republik ini, khususnya nilai-nilai yang ada dalam sila Pancasila, mulai dari ketuhanan sampai keadilan sosial. Kelima sila tersebut harus menjadi pedoman dalam melaksanakan setiap kegiatan di Republik ini, sehingga akan memberikan iklim yang mengidupkan bagi seluruh rakyat, bukan bagi segelintir orang.
    Memenangkan hati rakyat akan sulit terealisasi ketika para calon pemimpin dan timnya masih terbelenggu dalam budaya politik praktis dewasa ini. Politik yang menghalalkan segala cara dalam mendapatkan kursi kekuasaan. Politik yang tidak mengedepankan proses, hanya melihat hasil. Politik yang memutihkan yang hitam, menghitamkan yang putih.
Proses prilaku seperti itu akan hanya membelenggu tujuan berbangsa dan bernegara kita, karena tidak akan mampu menyentuh hati rakyat. Rakyat hanya akan sebagai objek yang tak diperdayakan. Hanya akan dicari dan digombalin setiap lima tahun sekali oleh para pencari rente kekuasaan.
Apabila seperti itu yang terjadi, maka seharusnya kampanye pilpres yang sedang menentukan RI-1 dan RI-2 menjadi momentum untuk memperbaiki diri bagi seluruh rakyat Indonesia, mulai dari tingkat bawah sampai atas. Lebih khusus kepada capres dan cawapres beserta tim untuk bisa memenangkan hati rakyat Indonesia, supaya lima tahun ke depan masa depan Republik ini lebih cerah dari sebelumnya.

Siapa pun yang menang harus mampu memenangkan hati rakyat, bukan karena strategi licin nan licik. Tetapi karena memang karena pilihan rakyat. Rakyat harus mampu mengambil hati rakyat supaya rakyat memiliki rasa optimis yang tinggi dalam membangun Republik ini menuju Indonesia lebih baik. 

Monday, 2 June 2014

MEMATRI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, Ir. Soekarno menyampaikan idenya mengenai dasar Negara Republik Indonesia. Bung Karno menyatakan bahwa perlu adanya sebuah dasar negara yang kokoh yang bersumber dari nilai-nilai asli yang ada dalam bangsa kita. Untuk itulah, Bung Karno memperkenalkan lima dasar yang disebut sebagai Pancasila yang meliputi, 1) Kebangsaan Indonesia, 2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, 3) Musyawarah Mufakat, 4) Kesejahteraan Sosial, dan 5) Ke-Tuhanan. Lima dasar tesebut bisa diperas menjadi tiga dasar (Trisula) yaitu, 1) Socio-Nationalisme, 2) Socio-Demokratis, dan 3) Ke-Tuhanan. Dan yang tiga itu pun bisa menjadi satu yang disebut sebagai Ekasila, yaitu gotong royong.
Pancasila versi Soekarno tersebut direvisi Panitia Sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI yang diketuai oleh Bung Karno sendiri. Tujuannya adalah untuk menyelaraskan semua usulan anggota-anggotanya. Dan akhirnya setelah melewati perdebatan yang cukup alot, khususnya mengenai sila pertama yang menyatakan ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menemukan titik temu. Dimana kata-kata kewajiban menjalankan syariat Islam tidak digunakan, karena dinilai tidak relavan dengan keadaan bangsa Indonesia yang plural.
Dan setelah satu hari kita merdeka, Pancasila secara resmi dijadikan sebagai dasar negara dengan susunan, yaitu 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila ini diharapkan akan bisa menjadi pondasi yang kuat bagi masyarat Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana Pancasila menjadi ideologi bangsa, falsafah hidup dan pedoman hidup serta sebagai kepribadian bangsa.
Namun setelah 69 tahun Pacasila disampaikan oleh Soekarno, sepertinya nilai-nilai yang terkandung didalamnya semakin menipis. Pancasila semakin langka dalam diri anak bangsa. Anak bangsa mulai tidak mengenal apa itu Pancasila. Dan dengan kata lain Pancasila bisa dikatakan akan menjadi barang antik di masa depan apabila tidak ada formula untuk menanamkan nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Di era globalisasi yang menyajikan pola hubungan antar bangsa dan negara seolah-olah tanpa batas (borderless), saling bergantung (interdependency) dan saling terhubung (interconnected) menuntut setiap bangsa dan negara di dunia untuk memiliki budaya yang tangguh dan pedoman hidup supaya tidak mudah terombang-ambing oleh budaya lain, maka Indonesia harus mengembalikan dan menjadikan serta mematri nilai-nilai Pancasila di dalam diri anak bangsa, sehingga Republik tercinta ini menjadi bangsa yang berdikari dan memiliki kepribadian.
Pemimpin Menjadi Pioner
 Dalam mematri nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat, yang memiliki peran yang sangat urgen adalah pemimpin. Pemimpin di Republik ini, mulai dari tingkat atas sampai bawah harus menjadi pioner dalam mengaplikasikan nilai-nilai yag terkandung dalam Pancasila, mulai dari sila Ketuhanan sampai keadilan sosial. Pengaplikasiannya bisa dilakukan melalui sikap dan prilaku maupun kebijakan-kebijakan yang diambil olehnya. Apakah sudah sesuai dengan amanah Pancasila atau tidak.
Inilah hal yang lumayan sulit, karena mayoritas pemimpin kita dewasa ini mempertontonkan sikap yang jauh dari nilai-nilai dalam Pancasila. Baik itu penyimpangan dari nilai-nilai agama maupun mengambil kebijakan yang tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Banyak pemimpin di Republik ini melakukan tindakan-tindakan inmoral, korupsi, kolusi dan nepotisme maupun kegiatan-kegiatan yang memecah persatuan dan kesatuan.
Kalau sudah seperti itu, lalu siapa yang diharapkan sebagai pioner? Jawabannya adalah presiden dan wakil presiden yang akan terpilih nantinya dalam Pilpres pada tanggal 9 Juli mendatang. Diharapkan mereka yang terpilih akan mampu menjadi pioner bagi pengembalian nilai-nilai Pancasila.
Memang secercah harapan datang dari para capres dan cawapres yang mengumandangkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap visi dan misi serta retorika politiknya. Namun dilain sisi, kita melihat sangat miris dan menyedihkan. Dimana banyak sekali sikap dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang dilakukan oleh capres dan cawapres beserta tim suksesnya. Tak tanggung-tanggung segala cara dihalalkan demi menuai simpati dari rakyat. Ada yang membawa isu SARA, ada juga mengungkapkan kasus masa lalu yang kebenarannya masih semu. Ada pun yang melontarkan argumen yang sangat bersifat mengadu domba.

Kalau seperti itu prilaku calon pemimpin kita, siapa lagi yang diharapkan untuk menpertahankan nilai-nilai Pancasila. Harapan terakhir adalah dari diri kita sendiri. Setiap anak bangsa, minimal harus mampu menjadi pemimpin untuk diri sendiri. Artinya, harus bisa mematri benar-benar nilai-nilai Pancasila di dalam dirinya. Harus ada komitmen dan konsisten supaya dalam tindak tanduk kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini bersandar pada Pancasila. Apabila kita bisa, maka saya yakin dan percaya Republik yang kaya nan subur ini akan mampu menjadi kiblat dari bangsa lain.