Pages

Friday 25 April 2014

KEPEPIMPINAN MAHATMA GANDHI DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN BERBANGSA DAN BERNEGARA


Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dewasa ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki penduduk terbesar di dunia memiliki berbagai permasalahan. Permasalahan yang menghantui Republik ini bisa dikatakan multidemensi. Namun banyak pihak yang mengatakan bahwa permasalahan itu berakar dari gagalnya para pemimpin nasional. Banyak dari pemimpin di Republik ini tidak bisa melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar. Pemimpin yang seharusnya menjadi pioner utama dalam menggerakan seluruh rakyat untuk mencapai cita-cita bangsa dan bernegara malah melakukan tindakan yang melanggar aturan.
Republik ini memang bisa dikatakan mengalami krisis kepemimpinan. Dimana sistem demokrasi langsung yang sudah dilaksanakan 10 tahun gagal melahirkan pemimpin nasional yang memiliki karakter dalam membangun bangsa dan negara ini. Demokrasi langsung yang dilaksanakan malah memperuncing masalah. Korupsi pun semakin subur di era demokrasi langsung ini. Konflik kepentingan pun semakin dipertontonkan, sehingga apa yang menjadi amanah konstitusi tidak bisa dicapai.
Seharusnya sistem demokrasi Indonesia mampu melahirkan pemimpin nasional yang dapat berfungsi mengawal proses pembangunan dan hasil-hasilnya dapat dirasakan oleh warga negara[1]. Pemimpin nasional harus mampu membangun bangsa dan negara ini ke arah kemandirian. Namun kenyataannya, para pemimpin nasional Republik ini malah mengambil kebijakan yang tidak bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. Kebijakan yang diambil hanya lebih memprioritaskan kaum elit. Itu bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata per tahun melebihi pertumbuhan global, tetapi kemiskinan masih merajalela di negeri nan kaya ini. Pertumbuhan ekonomi tersebut hanya menciptakan disparitas yang semakin melebar, antara si kaya dan si miskin.
Apabila melihat perkembangan dunia saat ini, maka kemajuan dan pembangunan negara-negara di dunia kebanyakan merupakan hasil dari peran para pemimpin nasionalnya. Sebagai contoh, Korea Selatan yang telah berhasil menjadi salah satu kekuatan baru di dunia merupakan hasil dari peran para pemimpin nasionalnya yang terus bekerjasama mensukseskan pembangunan nasional tanpa adanya sekat-sekat ideologi maupun politik diantara mereka. Pertarungan politik di Korea Selatan hanya terjadi pada momen pemilihan umum. Selebihnya, mereka berorientasi pada pembangunan nasional dan mengesampingkan kepentingan golongan yang berdimensi sempit. Hasilnya, Korea Selatan dewasa ini menjadi salah satu negara dengan peradaban terbaik di dunia (Breen, 1998;5)[2].
    Pemimpin nasional Republik ini harus mulai belajar bagaimana membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang mandiri. Kemandirian bangsa dan negara harus menjadi spirit baru dalam sistem kepemimpinan nasional, sehingga ketergantungan dengan negara lain bisa diminimalisir. Tidak seperti dewasa ini, dimana hampir semua kebutuhan di Republik ini justru banyak diproduksi di negara luar. Republik Indonesia dewasa ini menjadi negara peng-impor, padahal tanah yang tersebar dari Sabang-Merauke mampu menghidupkan segala jenis tumbuhan dan hewan.
Bisa dibayangkan, bagaimana Republik yang subur nan kaya ini mengimpor beras dari negara yang notabenenya jauh dibandingkan kita, seperti Vietnam, Thailand, India, Pakistan dan Myanmar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, Vietnam menjadi pemasok terbesar beras impor Indonesia yang mencapai 171.286 ton dari total 472.000 ton beras yang dimpor[3]. Belum lagi sumber daya alam yang terus menerus dikeruk oleh para pengusaha dari negara luar. Dan masih banyak contoh lain yang membuktikan bahwa Republik ini masih belum mampu mandiri. Padahal para founding father Republik ini sudah mengamanahkan kepada generasi penerus untuk bisa berdikari.
Belajar dari Mahatma Gandhi
Kemandirian Republik ini harus segera mulai dibangun dengan bercermin dari negara lain yang kira-kira menyerupai negara Indonesia, yaitu India. India yang bisa dikatakan sebagai negara yang lebih plural dari Indonesia mampu lebih baik dalam hal kemandirian. Ini bisa dilihat dari perbedaan sikap antara Indonesia dengan India ketika tsunami 2004. Indonesia dengan bangga menerima semua bentuk bantuan langsung dari negara asing, namun India menolak dengan kepercayaan diri yang tinggi menyatakan bahwa mereka memiliki dana sendiri dalam meringankan dan menyelesaikan dampak yang diakibatkan oleh tsunami.
Kemandirian yang diperlihatkan India tersebut merupakan buah tradisi bangsa yang dipelopori oleh sosok Mahatma Gandhi. Mahatma Gandhi (2 Oktober 1869-30 Januari 1948) merupakan seorang pemimpin spiritual dan politik dari India yang lahir di masa kolonial Britania Raya. Mahatma Gandhi dikenal sebagai bapak sekaligus guru bangsa India yang mewariskan banyak ajaran ke generasi India pada khususnya dan dunia pada umunya.
Kemandirian merupakan salah satu warisan Mahatma Gandhi yang masih mengakar dalam jiwa rakyat India. Visi sosial Gandhi adalah melepaskan puluhan juta rakyat India dari jerat kemiskinan dengan melakukan gerakan produksi dalam negeri oleh massa (padat karya), sekaligus melepaskan ketergantungan pada produk impor (swadesi). Visi ini dimulai dengan melakukan produksi dalam negeri dengan melihat daya beli masyarakat. Produksi dalam negeri dikemas sederhana, sehingga masyarakat bisa membelinya. Tetapi dengan meningkatnya daya beli, maka kemasan produksi dalam negeri pun semakin dikemas dengan lebih baik.
Ajaran Mahatma Gandhi tentang swadesi merupakan ajaran untuk cinta tanah air. Menurutnya, konsep swadesi memiliki hubungan yang erat dengan semangat swaraj sebagai cita-cita bersama seluruh warga India, bahkan seluruh manusia. Dalam bahasa sederhana diartikan sebagai menggunakan apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri. Konsep ini mengarah pada swaraj dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self rule) yang senjatanya bertumpu pada kekuatan sendiri (self rellance).
Namun setelah India mendapatkan kemerdekaan, maka ajaran swadesi Mahatma Gandhi lebih diartikan ke arah mencintai produk-produk dalam negeri. Ini merupakan semangat yang terus menerus dikobarkan bagi generasi India dewasa ini, sehingga India menjadi negara yang tidak terlalu menggantungkan kebutuhan masyarakatnya ke negara lain. Dan masyarakat India lebih memprioritaskan membeli produk dalam negeri dibandingkan produk luar negeri.  Ajaran ini berarti menolak impor kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh negara sendiri. 
Gandhi juga menyatakan bahwa salah satu dosa sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics without principles). Prinsip dasar dari Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan sebagai jalan yang benar atau jalan menuju kebenaran. Jalan yang benar maksudnya adalah seseorang harus selalu berpegang teguh pada ajaran agama (Tuhan). Prinsip ini telah menginspirasi banyak generasi aktivis-aktivis demokrasi dan anti rasisme, seperti Martin Luther Jr dan Nelson Mandela.
Gandhi menyatakan bahwa ajaran yang dibawanya sangatlah sederhana. Dimana ajarannya banyak bersumber pada kepercayaan Hindu Tradisional: kebenaran (satya) dan non-kekerasan (ahimsa).
Prinsip ajaran Gandhi tentang satya mengajarkan bahwa tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang benar, yaitu sesuai dengan konstitusi dan nilai-nilai moral. Nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran harus ditegakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemimpin harus memiliki integritas dan standar moral tunggal dalam kehidupan pribadi dan publik. Pemimpin harus berani menegakan keadilan dan kebenaran dengan segala resikonya, karena menurut Gandhi yang dikutipnya dalam sastra suci mengatakan “satyam eva jayate” yang berarti hanya kebenaran yang pada akhirnya akan berjaya.
Ahimsa merupakan ajaran Gandhi yang berarti melakukan perlawanan tanpa kekerasan. Ajaran ini menyerukan kepada seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi semangat nir-kekerasan dalam setiap tingkah laku kehidupan.
Kepemimpinan Gandhi ini mengajarkan kepada seluruh umat di dunia untuk melawan penjajahan atau sejenisnya tanpa kekerasan. Keberhasilannya menjadi tokoh sentral dalam melepas India dari penjajahan Britania Raya sebagai bukti dari ajarannya. Gandhi dalam menjalankan aksi-aksi perlawanan selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusian dalam melakukan pergerakannya.
Mahatma Gandhi memandang ahimsa dan satya ibarat saudara kembar yang memiliki hubungan yang sangat erat. Namun ahimsa merupakan sarana dalam mencapai kebenaran, karena kebenaran merupakan tujuannya. Ini berarti untuk mencapai kebenaran tidak boleh dilakukan dengan jalan kekerasan, baik dalam wujud pikiran, ucapan maupun tindakan. Gandhi juga menyatakan bahwa ahimsa tidak semata-mata berkonotasi negative, tetapi bisa juga berkonotasi positif, yaitu sebagai semangat dan pedoman hidup. Ahimsa dalam arti positif adalah cinta. Cintalah yang akan bisa menyelaraskan pikiran dengan perbuatan, sehingga pemimpin yang mengamalkan ajaran ini tidak akan melanggar aturan yang ada.
Ajaran-ajaran yang dikemukan oleh Gandhi, mulai dari ahimsa, satyagraha dan swadeshi merupakan ciri khas pergerakan India dalam meraih kemerdekaan. Ajaran tersebut menggambarkan kepemimpinan Gandhi yang mengutaman kemandirian bangsa dan negara, meskipun dalam keadaan yang serba kekurangan.
Kepemimpinan Indonesia Masa Depan
Kepemimpinan yang ditunjukan oleh Mahatma Gandhi dengan ajaran-ajarannya harus menjadi inspirasi bagi pemimpin Republik ini. Republik yang subur nan kaya ini harus lebih percaya diri, karena dilihat dari sumber daya alam dan manusianaya memiliki potensi yang besar. Tinggal bagaimana caranya supaya kuantitas yang besar bisa diimbangi dengan kualitas. Tentunya kualitas akan bisa diperbaiki dengan cara pemimpin yang ada di Republik ini melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik.
Dengan mengaplikasikan ajaran-ajaran dari Mahatma Gandhi, maka pemimpin masa depan Republik ini akan mampu membawa perubahan yang besar. Mulai dari memberantas kemiskinan, mengurangi pengangguran dan lainnya, karena dengan memperdayakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada maka akan menjadikan Republik ini menjadi bangsa dan negara yang besar dan dihormati negara lain.
Kemandirian bangsa dan negara ini juga akan didapatkan seiring dengan pengaplikasian ajaran Gandhi di Republik ini, khususnya ajaran swadesi. Dengan membuat kebijakan yang lebih memprioritaskan produk dalam negeri, maka penghasilan para anak bangsa akan semakin meningkat, sehingga kesejahteraan akan diperoleh dengan sendirinya.
Kepemimpinan Indonesia masa depan harus berani menyatakan tidak pada produk luar negeri. Pemimpin Indonesia harus menghilangkan budaya impor yang hanya sebagai sarana menguntungkan para elit dan mematikan ekonomi anak bangsa. Saatnya Republik ini menyatakan gayang produk luar negeri demi menjaga keberlangsungan produksi-produksi dalam negeri.
Sikap pemimpin seperti itu akan mendapatkan banyak hambatan dan tantangan, karena di tahun 2015 Indonesia akan membuka pasar dengan negara-negara anggota ASEAN. Dimana hasil produksi negara anggota ASEAN bisa bebas keluar masuk ke Indonesia. Demikian juga Indonesia, bisa memasarkan produk dalam negerinya ke seluruh anggota ASEAN. Tentunya dalam menghadapi hal itu, dibutuhkan suatu sikap anak bangsa yang mandiri. Artinya harus bisa dan mampu menggunakan sumber daya yang dimiliki di Republik ini untuk bisa bersaing dalam pemasaran. Jangan sampai Republik ini menjadi terlena dengan produk-produk luar. Budaya konsumtif harus berubah menjadi budaya produktif.
Pemimpin masa depan Indonesia harus lebih mampu menyiapkan generasi yang siap bersaing dengan anak bangsa negara lain. Pemimpin masa depan harus mampu mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk lebih mandiri, baik dalam bidang ekonomi maupun politik, sehingga cita-cita pahlawan Republik ini yang tertuang dalam konstitusi bisa dicapai, yaitu melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan.




[1] [1] Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT. Yellow Multi Media, 2013), 42.


[2] Ibid, hal. 20
[3] “Tahun Lalu, Indonesia Impor Beras dari Lima Negara (05/02/2014)”, tempo.co, diakses tanggal 24 April 2014.

No comments:

Post a Comment