Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dewasa
ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki penduduk terbesar di
dunia memiliki berbagai permasalahan. Permasalahan yang menghantui Republik ini
bisa dikatakan multidemensi. Namun banyak pihak yang mengatakan bahwa
permasalahan itu berakar dari gagalnya para pemimpin nasional. Banyak dari
pemimpin di Republik ini tidak bisa melaksanakan tugas dan fungsinya dengan
baik dan benar. Pemimpin yang seharusnya menjadi pioner utama dalam menggerakan
seluruh rakyat untuk mencapai cita-cita bangsa dan bernegara malah melakukan
tindakan yang melanggar aturan.
Republik
ini memang bisa dikatakan mengalami krisis kepemimpinan. Dimana sistem
demokrasi langsung yang sudah dilaksanakan 10 tahun gagal melahirkan pemimpin
nasional yang memiliki karakter dalam membangun bangsa dan negara ini.
Demokrasi langsung yang dilaksanakan malah memperuncing masalah. Korupsi pun
semakin subur di era demokrasi langsung ini. Konflik kepentingan pun semakin
dipertontonkan, sehingga apa yang menjadi amanah konstitusi tidak bisa dicapai.
Seharusnya
sistem demokrasi Indonesia mampu melahirkan pemimpin nasional yang dapat
berfungsi mengawal proses pembangunan dan hasil-hasilnya dapat dirasakan oleh
warga negara[1].
Pemimpin nasional harus mampu membangun bangsa dan negara ini ke arah
kemandirian. Namun kenyataannya, para pemimpin nasional Republik ini malah
mengambil kebijakan yang tidak bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. Kebijakan
yang diambil hanya lebih memprioritaskan kaum elit. Itu bisa dilihat dari
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata per tahun melebihi pertumbuhan
global, tetapi kemiskinan masih merajalela di negeri nan kaya ini. Pertumbuhan
ekonomi tersebut hanya menciptakan disparitas yang semakin melebar, antara si
kaya dan si miskin.
Apabila
melihat perkembangan dunia saat ini, maka kemajuan dan pembangunan
negara-negara di dunia kebanyakan merupakan hasil dari peran para pemimpin
nasionalnya. Sebagai contoh, Korea Selatan yang telah berhasil menjadi salah
satu kekuatan baru di dunia merupakan hasil dari peran para pemimpin
nasionalnya yang terus bekerjasama mensukseskan pembangunan nasional tanpa
adanya sekat-sekat ideologi maupun politik diantara mereka. Pertarungan politik
di Korea Selatan hanya terjadi pada momen pemilihan umum. Selebihnya, mereka
berorientasi pada pembangunan nasional dan mengesampingkan kepentingan golongan
yang berdimensi sempit. Hasilnya, Korea Selatan dewasa ini menjadi salah satu
negara dengan peradaban terbaik di dunia (Breen, 1998;5)[2].
Pemimpin
nasional Republik ini harus mulai belajar bagaimana membangun kehidupan
berbangsa dan bernegara yang mandiri. Kemandirian bangsa dan negara harus
menjadi spirit baru dalam sistem kepemimpinan nasional, sehingga ketergantungan
dengan negara lain bisa diminimalisir. Tidak seperti dewasa ini, dimana hampir
semua kebutuhan di Republik ini justru banyak diproduksi di negara luar. Republik
Indonesia dewasa ini menjadi negara peng-impor, padahal tanah yang tersebar
dari Sabang-Merauke mampu menghidupkan segala jenis tumbuhan dan hewan.
Bisa
dibayangkan, bagaimana Republik yang subur nan kaya ini mengimpor beras dari
negara yang notabenenya jauh dibandingkan kita, seperti Vietnam, Thailand,
India, Pakistan dan Myanmar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2013, Vietnam menjadi pemasok terbesar beras impor Indonesia yang
mencapai 171.286 ton dari total 472.000 ton beras yang dimpor[3]. Belum lagi sumber daya
alam yang terus menerus dikeruk oleh para pengusaha dari negara luar. Dan masih
banyak contoh lain yang membuktikan bahwa Republik ini masih belum mampu
mandiri. Padahal para founding father
Republik ini sudah mengamanahkan kepada generasi penerus untuk bisa berdikari.
Belajar dari Mahatma Gandhi
Kemandirian
Republik ini harus segera mulai dibangun dengan bercermin dari negara lain yang
kira-kira menyerupai negara Indonesia, yaitu India. India yang bisa dikatakan
sebagai negara yang lebih plural dari
Indonesia mampu lebih baik dalam hal kemandirian. Ini bisa dilihat dari
perbedaan sikap antara Indonesia dengan India ketika tsunami 2004. Indonesia
dengan bangga menerima semua bentuk bantuan langsung dari negara asing, namun
India menolak dengan kepercayaan diri yang tinggi menyatakan bahwa mereka memiliki
dana sendiri dalam meringankan dan menyelesaikan dampak yang diakibatkan oleh
tsunami.
Kemandirian
yang diperlihatkan India tersebut merupakan buah tradisi bangsa yang dipelopori
oleh sosok Mahatma Gandhi. Mahatma Gandhi (2 Oktober 1869-30 Januari 1948)
merupakan seorang pemimpin spiritual dan politik dari India yang lahir di masa
kolonial Britania Raya. Mahatma Gandhi dikenal sebagai bapak sekaligus guru
bangsa India yang mewariskan banyak ajaran ke generasi India pada khususnya dan
dunia pada umunya.
Kemandirian
merupakan salah satu warisan Mahatma Gandhi yang masih mengakar dalam jiwa
rakyat India. Visi sosial Gandhi adalah melepaskan puluhan juta rakyat India
dari jerat kemiskinan dengan melakukan gerakan produksi dalam negeri oleh massa
(padat karya), sekaligus melepaskan ketergantungan pada produk impor (swadesi). Visi ini dimulai dengan
melakukan produksi dalam negeri dengan melihat daya beli masyarakat. Produksi
dalam negeri dikemas sederhana, sehingga masyarakat bisa membelinya. Tetapi
dengan meningkatnya daya beli, maka kemasan produksi dalam negeri pun semakin
dikemas dengan lebih baik.
Ajaran
Mahatma Gandhi tentang swadesi
merupakan ajaran untuk cinta tanah air. Menurutnya, konsep swadesi memiliki hubungan yang erat dengan semangat swaraj sebagai cita-cita bersama seluruh
warga India, bahkan seluruh manusia. Dalam bahasa sederhana diartikan sebagai
menggunakan apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri. Konsep ini mengarah pada swaraj dalam arti pemerintah oleh negeri
sendiri (self rule) yang senjatanya
bertumpu pada kekuatan sendiri (self
rellance).
Namun
setelah India mendapatkan kemerdekaan, maka ajaran swadesi Mahatma Gandhi lebih diartikan ke arah mencintai
produk-produk dalam negeri. Ini merupakan semangat yang terus menerus
dikobarkan bagi generasi India dewasa ini, sehingga India menjadi negara yang
tidak terlalu menggantungkan kebutuhan masyarakatnya ke negara lain. Dan
masyarakat India lebih memprioritaskan membeli produk dalam negeri dibandingkan
produk luar negeri. Ajaran ini berarti
menolak impor kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh negara sendiri.
Gandhi
juga menyatakan bahwa salah satu dosa sosial yang menjadi penyebab merosotnya
kualitas kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan politik tanpa
dilandasi oleh prinsip dasar (politics
without principles). Prinsip dasar dari Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan sebagai jalan yang benar atau
jalan menuju kebenaran. Jalan yang benar maksudnya adalah seseorang harus
selalu berpegang teguh pada ajaran agama (Tuhan). Prinsip ini telah
menginspirasi banyak generasi aktivis-aktivis demokrasi dan anti rasisme,
seperti Martin Luther Jr dan Nelson Mandela.
Gandhi
menyatakan bahwa ajaran yang dibawanya sangatlah sederhana. Dimana ajarannya
banyak bersumber pada kepercayaan Hindu Tradisional: kebenaran (satya) dan
non-kekerasan (ahimsa).
Prinsip
ajaran Gandhi tentang satya mengajarkan bahwa tujuan yang baik harus dicapai
dengan cara yang benar, yaitu sesuai dengan konstitusi dan nilai-nilai moral.
Nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran harus ditegakan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pemimpin harus memiliki integritas dan standar moral
tunggal dalam kehidupan pribadi dan publik. Pemimpin harus berani menegakan
keadilan dan kebenaran dengan segala resikonya, karena menurut Gandhi yang
dikutipnya dalam sastra suci mengatakan “satyam
eva jayate” yang berarti hanya kebenaran yang pada akhirnya akan berjaya.
Ahimsa
merupakan ajaran Gandhi yang berarti melakukan perlawanan tanpa kekerasan.
Ajaran ini menyerukan kepada seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi
semangat nir-kekerasan dalam setiap tingkah laku kehidupan.
Kepemimpinan
Gandhi ini mengajarkan kepada seluruh umat di dunia untuk melawan penjajahan
atau sejenisnya tanpa kekerasan. Keberhasilannya menjadi tokoh sentral dalam
melepas India dari penjajahan Britania Raya sebagai bukti dari ajarannya.
Gandhi dalam menjalankan aksi-aksi perlawanan selalu mengedepankan nilai-nilai
kemanusian dalam melakukan pergerakannya.
Mahatma
Gandhi memandang ahimsa dan satya ibarat saudara kembar yang
memiliki hubungan yang sangat erat. Namun ahimsa
merupakan sarana dalam mencapai kebenaran, karena kebenaran merupakan
tujuannya. Ini berarti untuk mencapai kebenaran tidak boleh dilakukan dengan
jalan kekerasan, baik dalam wujud pikiran, ucapan maupun tindakan. Gandhi juga
menyatakan bahwa ahimsa tidak semata-mata berkonotasi negative, tetapi bisa
juga berkonotasi positif, yaitu sebagai semangat dan pedoman hidup. Ahimsa
dalam arti positif adalah cinta. Cintalah yang akan bisa menyelaraskan pikiran
dengan perbuatan, sehingga pemimpin yang mengamalkan ajaran ini tidak akan
melanggar aturan yang ada.
Ajaran-ajaran
yang dikemukan oleh Gandhi, mulai dari ahimsa,
satyagraha dan swadeshi merupakan
ciri khas pergerakan India dalam meraih kemerdekaan. Ajaran tersebut
menggambarkan kepemimpinan Gandhi yang mengutaman kemandirian bangsa dan
negara, meskipun dalam keadaan yang serba kekurangan.
Kepemimpinan Indonesia Masa Depan
Kepemimpinan
yang ditunjukan oleh Mahatma Gandhi dengan ajaran-ajarannya harus menjadi
inspirasi bagi pemimpin Republik ini. Republik yang subur nan kaya ini harus
lebih percaya diri, karena dilihat dari sumber daya alam dan manusianaya
memiliki potensi yang besar. Tinggal bagaimana caranya supaya kuantitas yang
besar bisa diimbangi dengan kualitas. Tentunya kualitas akan bisa diperbaiki
dengan cara pemimpin yang ada di Republik ini melaksanakan tugas dan fungsinya
dengan baik.
Dengan
mengaplikasikan ajaran-ajaran dari Mahatma Gandhi, maka pemimpin masa depan
Republik ini akan mampu membawa perubahan yang besar. Mulai dari memberantas
kemiskinan, mengurangi pengangguran dan lainnya, karena dengan memperdayakan
sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada maka akan menjadikan Republik
ini menjadi bangsa dan negara yang besar dan dihormati negara lain.
Kemandirian
bangsa dan negara ini juga akan didapatkan seiring dengan pengaplikasian ajaran
Gandhi di Republik ini, khususnya ajaran swadesi.
Dengan membuat kebijakan yang lebih memprioritaskan produk dalam negeri,
maka penghasilan para anak bangsa akan semakin meningkat, sehingga
kesejahteraan akan diperoleh dengan sendirinya.
Kepemimpinan
Indonesia masa depan harus berani menyatakan tidak pada produk luar negeri.
Pemimpin Indonesia harus menghilangkan budaya impor yang hanya sebagai sarana
menguntungkan para elit dan mematikan ekonomi anak bangsa. Saatnya Republik ini
menyatakan gayang produk luar negeri demi menjaga keberlangsungan
produksi-produksi dalam negeri.
Sikap
pemimpin seperti itu akan mendapatkan banyak hambatan dan tantangan, karena di
tahun 2015 Indonesia akan membuka pasar dengan negara-negara anggota ASEAN.
Dimana hasil produksi negara anggota ASEAN bisa bebas keluar masuk ke
Indonesia. Demikian juga Indonesia, bisa memasarkan produk dalam negerinya ke
seluruh anggota ASEAN. Tentunya dalam menghadapi hal itu, dibutuhkan suatu
sikap anak bangsa yang mandiri. Artinya harus bisa dan mampu menggunakan sumber
daya yang dimiliki di Republik ini untuk bisa bersaing dalam pemasaran. Jangan
sampai Republik ini menjadi terlena dengan produk-produk luar. Budaya konsumtif
harus berubah menjadi budaya produktif.
Pemimpin
masa depan Indonesia harus lebih mampu menyiapkan generasi yang siap bersaing
dengan anak bangsa negara lain. Pemimpin masa depan harus mampu mengajak
seluruh rakyat Indonesia untuk lebih mandiri, baik dalam bidang ekonomi maupun
politik, sehingga cita-cita pahlawan Republik ini yang tertuang dalam
konstitusi bisa dicapai, yaitu melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan.
[1] [1]
Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal
Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT.
Yellow Multi Media, 2013), 42.
[2]
Ibid, hal. 20
[3]
“Tahun Lalu, Indonesia Impor Beras dari Lima Negara (05/02/2014)”, tempo.co,
diakses tanggal 24 April 2014.
No comments:
Post a Comment