Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pasca
reformasi tahun 1998, pers menjadi suatu kekuatan baru. Pers seperti harimau yang
baru terbangun dari tidurnya. Dianalogikan demikian karena pada era Soeharto,
pers tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bebas melaksanakan tugas dan fungsinya. Tidak
akan ada keberanian untuk menyuarakan realita. Hanya bisa memberikan informasi
yang diinginkan oleh tuannya. Ketika tuannya tidak suka, maka hati-hati akibatnya
akan bisa fatal. Pers akan menjadi sasaran para petrus yang bisa bergerak
dengan cepat tanpa meninggalkan jejak.
Soeharto
memang memberikan ruang yang sangat kecil bagi pers. Itu tidak lain supaya bisa
mengamankan kursi empuknya sebagai RI-1. Pers akan menjadi sangat menakutkan
bagi para penguasa. Pers akan menjadi liar dan sulit dikendalikan ketika
diberikan kebebasan. Inilah yang kita rasakan sekarang ini. Pers menjadi suatu
kekuatan yang sangat kuat. Endmund Burke meletakkan pers
sebagai kekuatan keempat setelah ekskutif, legislatif dan yudikatif. Ini tidak
lain dan tidak bukan karena pers memiliki andil yang sangat besar dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan pemerintahan.
Pers dalam menjalankan tugas dan fungsi memiliki prinsip. Prinsip
utama yang harus dipegang menurut Komisi Kebebasan Pers atau dikenal sebagai
Komisi Hutchins di era demokrasi modern di Amerika Serikat adalah pertama, pers harus menyajikan berita
yang benar, komprehensif dan cerdas, serta akurat dan tidak berbohong, kedua, pers harus berperan sebagai
forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik, ketiga, pers harus menyajikan gambaran yang khas dari setiap
kelompok masyarakat dan memahami kondisi semua kelompok masyarakat tanpa
terjebak dalam stereotype, keempat, pers
harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai kemasyarakatan,
dan kelima, pers harus membuka akses
keberbagai sumber informasi.
Di
Indonesia, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Pers nasional memiliki fungsi sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial serta fungsi ekonomi[1]. Namun dalam prakteknya
pers sepertinya lebih banyak menjalankan fungsi ekonomi. Pers dijadikan alat
penekan. Pers itu seperti perusahaan yang melakukan prinsip ekonomi dalam
prakteknya. Selalu mencari profit, tanpa
memperhatikan benefit.
Di
tahun 2014 atau yang sering disebut sebagai tahun politik, pers memiliki peran yang
sangat sentral. Pers memiliki pengaruh yang sangat besar terutama dalam
mengarahkan dan mempengaruhi konstituen. Pers atau media akan dijadikan sebagai
alat dalam mencari kepopuleran. Media menjadi saluran kampanye yang paling
efektif. Orang yang dulunya tidak dikenal akan menjadi terkenal, yang biasa
menjadi luar biasa, yang jelek akan menjadi baik. Begitulah kehebatan dari
pers.
Permasalahan
terberat pers di tahun politik adalah dalam menjalankan prinsip keadilan. Dimana
kita ketahui bersama bahwa para elite partai kebanyakan merupakan pemilik
media. Akan menjadi sulit bagi media memberikan informasi yang akurat, valid
dan terpercaya. Tekanan dari pemilik akan semakin kuat dan akan mempengaruhi
informasi yang akan disampaikan.
Penyimpangan
pers memang kerap terjadi menjelang pemilu. Media akan dijadikan alat untuk
meraih kekuasaan. Rata-rata publik di Indonesia mencari informasi melalui
media, baik itu elektronik maupun cetak. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya
ketika apa yang disampaikan oleh media itu merupakan kebohongan, maka otomatis
hasil dari pemilu tidak akan menghasilkan hasil yang sesuai dengan keinginan
untuk mencapai kesejahteraan.
Politik
pencitraan oleh para tokoh melalui media selalu dilakukan. Iklan, program berhadiah dan sejenisnya menjadi strateginya. Pemilik
media akan lebih mudah melakukan hal seperti itu dibandingkan dengan yang
tidak. Sebagai contoh dalam berbagai stasiun tv dan media cetak, para pemilik
media yang notabenenya elite politik selalu muncul dan diberitakan positif
selalu. Sedangkan sisi yang negatif hampir tidak pernah tersentuh.
Tantangan
seperti itulah yang harus bisa ditaklukkan oleh pers. Khususnya untuk para
wartawan yang tugasnya mencari dan menemukan berita harus tetap menjunjung
tinggi kode etik. Jangan sampai uang membuatnya semua menjadi putih. Dewan Pers
bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia juga harus melakukan tugas dan
fungsi dengan baik. Melakukan teguran dan pemberian sangsi bagi media yang melanggar
tata tertib.
Pers
harus dan wajib untuk bisa menghadapi pressure.
Pemilu akan menjadi tidak ada gunanya ketika tekanan seperti yang
disebutkan di atas tidak bisa ditaklukkan. Anggaran negara yang mencapai
triliunan rupiah akan menjadi sia-sia, karena pemilu tidak bisa menghasilan
hasil yang sesuai dengan fakta dan realita.
Media
memiliki andil besar dalam menyukseskan pemilu 2014. Jiwa besar dari para
pemilik media sangat diperlukan. Ambeg para
marta, mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Dengan kata
lain, memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Masa depan bangsa dan negara
Indonesia untuk lima tahun ke depan akan bergantung dari bagaimana media
memberikan pemberitaan. Baca artikel http://dedetzelth.blogspot.com/2013/10/relasi-antara-media-pemimpin-dengan.html
No comments:
Post a Comment