Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemimpin[1] merupakan sosok sentral
dalam suatu komunitas. Pemimpin memiliki kelebihan daripada yang dipimpinnya,
baik itu dari aspek knowledge, skill dan attitude. Mampu melihat apa yang tidak
bisa dilihat oleh orang lain. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat
memimpin orang lain dan dapat dipimpin oleh orang lain, dalam kehidupan
bernegara, pemerintahan dan kemasyarakatan[2]. Prof. Ermaya Suradinata
mengatakan bahwa kepemimpinan membutuhkan budaya dalam rangka menciptakan daya
rasa, daya karsa, daya cipta dan daya inovasi yang unggul.
Dalam
ajaran islam dikatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Ini berarti pada
hakekatnya setiap manusia itu adalah pemimpin. Paling tidak pemimpin bagi
dirinya sendiri. Itulah mengapa Aristoteles melihat bahwa negara didirikan dari
rumah tangga, sebelum berbicara tentang negara kita musti berbicara tentang
manajemen keluarga[3].
Jadi bisa dikatakan bahwa baik buruknya kehidupan bernegara sangat bergantung
bagaimana hubungan yang dibangun dalam sebuah keluarga. Di keluargalah ada
hubungan yang erat antar individu. Individu dalam kelurga itulah yang menjadi pemimpin
bagi sekumpulan keluarga yang kita sebut sebagai warga negara.
Di
era demokrasi langsung saat ini, yang berasaskan one man, one vote, one value memberikan peluang yang sama kepada
warga negara untuk menjadi pemimpin. Pemimpin itu tidak memandang status. Petani,
nelayan, pedagang, pengusaha asongan dan lainnya bisa bersaing dengan para
akademisi, konglomerat dan lainnya. Secara kasat mata memang kelihatan sangat fair, namun pada prakteknya ternyata
tidak. Ada hal yang sangat penting dibalik demokrasi langsung ini, yaitu money. David Samuel mempertanyakan “how important is money to the electoral
process?”.
Uang
berperan sangat urgen dan menentukan
dalam pemilihan langsung. Konstituen akan terhipnotis dengan kampanye (iklan,
baliho dan stiker) para calon. Calon pun akan kesana kemari untuk menampakkan
mukanya kepada rakyat. Tim sukses pun membutuhkan namanya uang, sehingga bisa
dipastikan uang menjadi kunci kemenangan dari pada calon. Uang sangat
dibutuhkan oleh para calon. Itulah mengapa saya mengatakan demokrasi langsung
itu tidak fair, karena hanya akan
bisa menghasilkan pemimpin yang ber-uang.
Kekuatan
finansial akan dibutuhkan oleh calon dan partai dalam mempertahankan dan
mencari kekuasaan. Sumber keuangan pun akan selalu dicari, dimana pun keberadaannya.
Partai pengusung para calon tidak akan mampu membiayai sendiri segala kebutuhan
selama masa pemilihan yang bisa mencapai miliaran atau triliunan rupiah. Berdasarkan
kajian Pramono Anung Wibowo, menyebutkan rata-rata anggota DPR mengeluarkan
dana Rp 1,5-2 miliar selama kampanye sampai dengan terpilih.
Berdasarkan
data dari KPU, dana kampanye yang terkumpul pada periode pertama (27 – 30 Desember
2013) sebesar Rp 974,53 miliar[4]. Jumlah dana kampanye ini
akan bisa bertambah, karena akan ada periode kedua pelaporan dana kampanye (2
Maret 2014). Sesuai dengan aturan, partai politik hanya boleh menerima dana
kampanye dari partai, caleg, perorangan, kelompok dan badan usaha.
Jadi
pertanyaan selanjutnya adalah darimana partai atau calon mendapatkan uang? Pastinya
akan mencari para pemilik uang (modal). Pemilik modal itu adalah mereka yang
menguasai korporasi di negeri ini, seperti Newmont,
Freepot, Sampoerna dan sejenisnya. Pemilik modal tersebut tidak akan
memberikan dengan cuma-cuma. Akan ada deal
yang harus terpenuhi jika partai atau calon tersebut menang dalam pemilu. Bukankah
kalau seperti itu pemimpin di negeri ini adalah perpanjangan tangan dari para
pemilik modal dengan kata lain pemimpin produk kepentingan.
Muchtar
Lubis menyatakan bahwa Demokrat atau Republik sama saja, mereka sama-sama
maling. Itulah gambaran bagaimana dua partai di Amerika Serikat ditunggangi
oleh kelompok kepentingan seperti yang disebutkan di atas. Konglomerat dan kaum
kapital yang memegang kendali di negeri Paman Sam tersebut sangat berperan
penting dalam mempengaruhi kebijakan. Presiden seperti hanya mendapatkan
kedudukan saja, tanpa ada kebebasan dalam membuat kebijakan. Semua terperangkap
dengan kelompok kepentingan.
Dengan
high cost politic akan membuat para
pemimpin yang terpilih tidak mampu berbuat banyak. Semuanya akan disetir oleh
pemberi modal. Sepertinya sistem pemilihan langsung ini akan hanya sebagai
suatu ajang kaum capital, yang menang akan menguasai dan yang kalah akan
stagnan.
Dengan
adanya pengaruh besar dari para pemilik modal itu membuat pemimpin yang dihasilkan
tidak akan bisa menghasilkan pemimpin berjiwa Ksatria Piningit dan berjiwa ASTA
BRATA. Apalagi akan memenuhi kriteria kepemimpinan
yang telah ditetapkan oleh Lamhanas RI atau yang disebut Indeks Kepemimpinan Nasional
Indonesia (IKNI) yang mengandung empat katagori Cita Susila dan Akuntabilitas,
yaitu 1) Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Individual, 2) Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Sosial, 3) Indeks
Moralitas dan Akuntabilitas Institusional, dan 4) Indeks Moralitas dan
Akuntabilitas Global[5].
Pemilihan
langsung saat ini akan menjadi acara seremonial belaka, ketika masalah money terus menerus mewabah. Cost politic harus bisa ditekan seminimal mungkin supaya
parpol dan calon tidak terlalu bergantung dan berorintasi mencari pihak
penyumbang. Menurut Colleto, Jansen and Young (2011), model pendanaan kampanye
yang cenderung ideal mestinya mengikuti peraturan yang ada dan juga norma-norma
demokrasi yang umum. Untuk itu, aliran dana kampanye mestinya merupakan aliran
dan kontribusi dari para anggota dan masyarakat umum yang diberikan sebagai
kontribusi untuk partai di tingkat pusat/DPP, kontribusi untuk EDE (pengurus
daerah/DPD) maupun kontribusi untuk para kandidat. Mereka menawarkan empat
model, yaitu 1) basic model, 2) branch
model, 3) stratarchical, 4) centralized funding.
Peran
uang memang sangat sulit dipisahkan dengan pemilihan langsung ini. Kita mengakui
uang adalah sumber awal dari masalah yang ada. Kepala daerah yang sudah
tersandung korupsi sudah sekitar 311 kepala daerah. Theodore White menyatakan the flood of money that gushes into politics
today is a pollution of democracy. Banjir uang yang menyebur ke dalam
politik hari ini adalah polusi demokrasi. Itulah gambaran bagaimana uang adalah
masalah, tetapi disamping itu uang sangat dibutuhkan.
[1]
Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat dalam
Pemilu.
[2]
Ermaya Sradinata, “Analisis Kepemimpinan, Strategi Pengambilan Keputusan”, (Bandung:
ALQAPRINT: Oktober 2013), 1.
[3] Henry
J. Schmandt, “Filsafat Politik”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: Cetakan III
2009), 96.
[4] Sumber:
http://m.news.viva.co.id/news/read/470078-jumlah-dana-kampanye-12-parpol-hampir-rp1-triliun--siapa-sumbernya-
[5]
Dr. Adi Sujatno, S.H., M.H dan Drs Asep Suhendar, M.Si, “Konsep Ideal
Kepemimpinan Nasional Nusantara, Menjawab Tantangan Global”, (Jakarta: PT.
Yellow Multi Media, 2013), 87.
No comments:
Post a Comment