Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemilu
2014 akan segera dilaksanakan. Peserta pemilu pun semakin meningkatkan amunisi,
baik dari partai, calon dan tim suksesnya. Berbagai strategi sudah dipersiapkan
demi memenangkan pemilu. Antara partai yang satu dengan lainnya pasti memiliki
cara tersendiri dalam menarik massa. Tetapi sepertinya semuanya akan berujung
pada satu pendekatan, yaitu sukuisme.
Sukuisme memang salah satu cara pendekatan
yang paling efektif. Ini tidak lain disebabkan oleh budaya bangsa ini yang
masih sangat komunal. Ego antara suku yang satu dengan lainnya pun masih rentan
terjadi. Suku Jawa sebagai suku mayoritas selalu menjadi pemegang kendali dalam
setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kuantitasnya yang banyak
diimbangi dengan kualitas yang mumpunilah yang menjadi keunggulan dari suku
Jawa.
Tifatul
Sembiring (Politisi PKS) menilai yang berpotensi menjadi presiden hingga 20
tahun ke depan masih berasal dari suku Jawa, sehingga harus realistis saja[1]. Itulah sebabnya Tifatul
Sembiring yang saat ini menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika tidak
terlalu berambisi untuk maju sebagai capres dari PKS. Padahal berdasarkan
pemilihan raya (Pemira), Tifatul meduduki posisi ke empat.
Dari
pernyataan Tifatul tersebut, bisa disimpulkan bahwa sukuisme menjadi salah satu
amunisi yang masih ampuh dalam pemilu 2014. Itulah mengapa Dewan Syuro PKS
memilih tiga nama sebagai bakal capres dari PKS dan selanjutnya akan dipilih
satu nama setelah pemilu legislatif. Tiga nama tersebut adalah Hidayat Nur
Wahid, Ahmad Heryawan dan Anis Matta.
Penentuan
tiga nama ini menurut saya adalah sebagai suatu strategi meraup suara melalui
pendekatan tiga suku besar di Indonesia. Suku Jawa diwakili oleh Hidayat Nur
Wahid, Sunda dipegang oleh Aher selaku Gubernur Jawa Barat dan Anis Matta untuk
suku Bugis dan Sulawesi sekitarnya.
Berdasarkan
sensus 2000, maka populasi dari jumlah tiga suku bangsa tersebut adalah sebesar
59,6% daari jumlah penduduk Indonesia. Dengan rinciannya: suku Jawa sebesar
41,7%, suku Sunda 15,4% dan suku Bugis
2,5%. Strategi dari PKS ini sudah cukup tepat dan bisa saja mengantarkannya
untuk mencapai tiga besar dalam pemilu legislatif 2014. Meskipun dari suku yang
tersebut masih ada tokoh lainnya. Tetapi paling tidak bisa menambah suara
karena faktor ketokohan dari para balon capres tersebut di masing-masing
sukunya.
Strategi
melalui pendekatan suku memang masih perlu. Mengingat para konstituen masih
melihat hubungan kekeluargaan dalam memilih. Masyarakat sangat gampang
diarahkan oleh kharisma dari seorang tokoh. Sebut saja, Aher, yang saat ini
menjadi salah satu putra terbaik Sunda, maka pastinya apa yang dikatakannya
akan sangat didengar oleh para pemuka adat yang ada. Tentunya ini sebagai
kebanggaan tersendiri bagi suku Sunda mengingat selama republik ini berdiri
tidak pernah berada diposisi teratas.
Konstituen
tidak akan bisa dipengaruhi oleh namanya money
politic, ketika ada keluarga, kerabat dan pemimpinnya (baca: pemimpin dari
satu suku). Disinilah berlaku uang bukan segala-galanya, lebih penting
kepatuhan dan kehormonisan keluarga dibandingkan dengan uang. Memang saya akui
dibeberapa pemilihan tingkat daerah (Pemilukada) disintegrasi antar keluarga
kerap terjadi. Namun dalam skala nasional, itu sepertinya tidak berlaku.
Sepertinya
partai lain, tidak akan meninggalkan strategi ini. Tokoh di suatu daerah dan
suku akan menjadi key maker dalam mengarahkan konstituen untuk memilih. Meskipun
dalam beberapa survei terakhir, suku Jawa selalu unggul dengan beberapa
tokohnya. Sebut saja Jokowi, disebut sebagai tokoh yang akan mampu mengubah
percaturan politik 2014. Berdasarkan survei, Jokowi tidak hanya dipilih oleh
suku Jawa, tetapi dari luar juga menginginkannya. Namun menurut saya presentasi
pemilih dengan melihat dari luar suku itu akan kecil jumlahnya.
Konstituen
dalam berpartisipasi dalam pemilu sangat ditentukan oleh hubungan emosional dan
intensitas partai dan calon dalam pemilu. Menurut Max Weber, masyarakat
melakukan partisipasi politik karena, pertama
alasan rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara
rasional akan nilai-nilai suatu kelompok, kedua,
alasan emosional efektif, yaitu alasan didasarkan atas kebencian atau
sukarela terhadap suatu ide, organisasi, partai atau individu, ketiga, alasan tradisional, yaitu alasan
yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi
tertentu dari suatu kelompok sosial, keempat,
alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi
untung rugi secara ekonomi.
Pendekatan
sukuisme memang akan menjadi suatu hal yang akan berjalan lancar ketika tidak mengganggu
stabilitas NKRI dengan syarat dilakukan dengan cara selalu memperhatikan norma
dan etika yang berlaku. Akan menjadi paradoks, ketika isu antar suku yang satu
dengan lainnya dipertentangkan. Itulah yang menjadi masalah yang ditakuti akan
mengancam stabilitas dalam pemilu.
No comments:
Post a Comment