Pages

Monday 3 February 2014

STRATEGI SUKUISME DALAM PEMILU 2014

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pemilu 2014 akan segera dilaksanakan. Peserta pemilu pun semakin meningkatkan amunisi, baik dari partai, calon dan tim suksesnya. Berbagai strategi sudah dipersiapkan demi memenangkan pemilu. Antara partai yang satu dengan lainnya pasti memiliki cara tersendiri dalam menarik massa. Tetapi sepertinya semuanya akan berujung pada satu pendekatan, yaitu sukuisme.
 Sukuisme memang salah satu cara pendekatan yang paling efektif. Ini tidak lain disebabkan oleh budaya bangsa ini yang masih sangat komunal. Ego antara suku yang satu dengan lainnya pun masih rentan terjadi. Suku Jawa sebagai suku mayoritas selalu menjadi pemegang kendali dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kuantitasnya yang banyak diimbangi dengan kualitas yang mumpunilah yang menjadi keunggulan dari suku Jawa.
Tifatul Sembiring (Politisi PKS) menilai yang berpotensi menjadi presiden hingga 20 tahun ke depan masih berasal dari suku Jawa, sehingga harus realistis saja[1]. Itulah sebabnya Tifatul Sembiring yang saat ini menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika tidak terlalu berambisi untuk maju sebagai capres dari PKS. Padahal berdasarkan pemilihan raya (Pemira), Tifatul meduduki posisi ke empat.
Dari pernyataan Tifatul tersebut, bisa disimpulkan bahwa sukuisme menjadi salah satu amunisi yang masih ampuh dalam pemilu 2014. Itulah mengapa Dewan Syuro PKS memilih tiga nama sebagai bakal capres dari PKS dan selanjutnya akan dipilih satu nama setelah pemilu legislatif. Tiga nama tersebut adalah Hidayat Nur Wahid, Ahmad Heryawan dan Anis Matta.
Penentuan tiga nama ini menurut saya adalah sebagai suatu strategi meraup suara melalui pendekatan tiga suku besar di Indonesia. Suku Jawa diwakili oleh Hidayat Nur Wahid, Sunda dipegang oleh Aher selaku Gubernur Jawa Barat dan Anis Matta untuk suku Bugis dan Sulawesi sekitarnya.
Berdasarkan sensus 2000, maka populasi dari jumlah tiga suku bangsa tersebut adalah sebesar 59,6% daari jumlah penduduk Indonesia. Dengan rinciannya: suku Jawa sebesar 41,7%, suku Sunda 15,4%  dan suku Bugis 2,5%. Strategi dari PKS ini sudah cukup tepat dan bisa saja mengantarkannya untuk mencapai tiga besar dalam pemilu legislatif 2014. Meskipun dari suku yang tersebut masih ada tokoh lainnya. Tetapi paling tidak bisa menambah suara karena faktor ketokohan dari para balon capres tersebut di masing-masing sukunya.
Strategi melalui pendekatan suku memang masih perlu. Mengingat para konstituen masih melihat hubungan kekeluargaan dalam memilih. Masyarakat sangat gampang diarahkan oleh kharisma dari seorang tokoh. Sebut saja, Aher, yang saat ini menjadi salah satu putra terbaik Sunda, maka pastinya apa yang dikatakannya akan sangat didengar oleh para pemuka adat yang ada. Tentunya ini sebagai kebanggaan tersendiri bagi suku Sunda mengingat selama republik ini berdiri tidak pernah berada diposisi teratas.
Konstituen tidak akan bisa dipengaruhi oleh namanya money politic, ketika ada keluarga, kerabat dan pemimpinnya (baca: pemimpin dari satu suku). Disinilah berlaku uang bukan segala-galanya, lebih penting kepatuhan dan kehormonisan keluarga dibandingkan dengan uang. Memang saya akui dibeberapa pemilihan tingkat daerah (Pemilukada) disintegrasi antar keluarga kerap terjadi. Namun dalam skala nasional, itu sepertinya tidak berlaku.
Sepertinya partai lain, tidak akan meninggalkan strategi ini. Tokoh di suatu daerah dan suku akan menjadi key maker  dalam mengarahkan konstituen untuk memilih. Meskipun dalam beberapa survei terakhir, suku Jawa selalu unggul dengan beberapa tokohnya. Sebut saja Jokowi, disebut sebagai tokoh yang akan mampu mengubah percaturan politik 2014. Berdasarkan survei, Jokowi tidak hanya dipilih oleh suku Jawa, tetapi dari luar juga menginginkannya. Namun menurut saya presentasi pemilih dengan melihat dari luar suku itu akan kecil jumlahnya.
Konstituen dalam berpartisipasi dalam pemilu sangat ditentukan oleh hubungan emosional dan intensitas partai dan calon dalam pemilu. Menurut Max Weber, masyarakat melakukan partisipasi politik karena, pertama alasan rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok, kedua, alasan emosional efektif, yaitu alasan didasarkan atas kebencian atau sukarela terhadap suatu ide, organisasi, partai atau individu, ketiga, alasan tradisional, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial, keempat, alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi.
Pendekatan sukuisme memang akan menjadi suatu hal yang akan berjalan lancar ketika tidak mengganggu stabilitas NKRI dengan syarat dilakukan dengan cara selalu memperhatikan norma dan etika yang berlaku. Akan menjadi paradoks, ketika isu antar suku yang satu dengan lainnya dipertentangkan. Itulah yang menjadi masalah yang ditakuti akan mengancam stabilitas dalam pemilu.  





[1] http://nasional.kompas.com/read/2014/02/01/175659.

No comments:

Post a Comment