Pages

Thursday, 18 September 2014

QUO VADIS KEBUDAYAAN INDONESIA: STRATEGI PENYERBUKAN SILANG ANTARBUDAYA DI ERA GLOBALISAS

Oleh: Dedet Zelthauzallam
 Di era globalisasi dewasa ini, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan strategis yang melingkupinya, baik di tingkat global, regional, nasional maupun lokal. Pengaruh lingkungan tersebut disebabkan oleh kemajuan tehnologi yang berkembang pesat, sehingga menyebabkan dunia seolah-olah tanpa batas (borderless world). Keadaan seperti itulah yang menuntut bangsa dan negara di dunia untuk selalu siap dan tanggap dalam menghadapi segala bentuk dinamika global yang bisa berdampak langsung ke kehidupan sosial masyarakat.
Proses globalisasi telah mengakibatkan terjadinya proses restrukturisasi kehidupan sehari-hari dalam sejumlah sektor dihampir seluruh populasi dunia, serta mendefinisikan kembali gagasan mengenai ruang, waktu, identitas dan agen pada tingkatan lokal.[1] Sebagai konsekuensinya, globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas dan kesatuan nilai-nilai individu dan kolektif. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam suatu tantanan global.[2] Oleh karena itu, globalisasi mengandung elemen homogenisasi kultural. Meski demikian, pada saat bersamaan mekanisme fragmentasi, heterogenisasi dan hibridisasi juga beroperasi.
Hibridisasi budaya atau yang lebih populer disebut sebagai penyerbukan silang antarbudaya[3] sebenarnya sudah terjadi sebelum Republik Indonesia memperoleh legitimasi kemerdekaan dari penjajah. Letaknya yang strategis membuat Indonesia menjadi titik temu para penjelajah bahari yang membawa berbagai arus peradaban yang beranekaragam. Pertemuan itulah yang meyebabkan budaya yang ada di Indonesia menjadi sangat plural. Menurut Denys Lombard, tak ada satu pun tempat di dunia ini, kecuali Asia Tengah, yaitu nusantara (baca: Indonesia) menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar di dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu. Dia melukiskan adanya beberapa nebula sosial-budaya yang secara kuat mempengaruhi peradaban Nusantara (khususnya Jawa), yaitu Indianisasi, jaringan Asia (Islam dan Tiongkok) serta arus westernisasi.
Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) bisa dilihat dari bentuk candi kerajaan nusantara zaman dulu, seperti Candi Borobudur dan Prambanan. Bentuknya mirip dengan bentuk candi yang ada di India. Selain itu juga, struktur konsentris kosmologi India mempengaruhi mentalitas masyarakat Indonesia, khususnya Jawa dan Bali. Hal itu tampak pada cara berfikir, sistem tata susila, upacara-upacara dan seni. Sedangkan pengaruh Islam mulai dirasakan kuat masuk di Indonesia pada abad ke-XIII dengan ditandai oleh berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Mulai dari kerajaan Islam pertama di Indonesia, Samudera Pasai kemudian menjalar secara cepat ke seluruh nusantara, baik di Jawa maupun Indonesia bagian timur.
Penyerbukan silang antarbudaya yang telah berlangsung lama itulah yang telah menelurkan kebudayaan yang ada di seluruh pelosok nusantara, yang membentang dari Sabang-Merauke. Terdapat lebih dari 300 etnik atau tepatnya 1.340 suku bangsa.[4] Kebudayaan yang plural tersebut menjadi aset kekayaan yang berharga bagi Indonesia. Sebagai aset kekayaan, kebudayaan yang dimiliki harus dilestarikan dan dikembangkan supaya masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan yang kuat untuk menghadapi segala bentuk perubahan yang diakibatkan dari dinamika globalisasi. 
Untuk menjaga kemajemukan kebudayaan Indonesia, para founding father Republik ini sudah mem-frame di dalam sebuah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, artinya berbeda-beda namun satu jua. Lebih tepatnya adalah keanekaragaman budaya yang ada di seluruh nusantara dibingkai menjadi satu di dalam kebudayaan nasional, baik itu bahasa, adat istiadat, lagu daerah, pakaian adat, rumah adat dan lainnya. Dan selanjutnya akan menjadi strategi dalam mempercepat pembangunan Indonesia.
Namun yang terjadi pasca hampir 69 tahun Republik Indonesia merdeka adalah budaya yang plural nan kaya tidak mampu mengangkat kualitas bangsa dan negara. Indonesia masih terbelenggu menjadi negara konsumtif. Itu bisa dilihat dari produk luar negeri yang terus menerus membanjiri pasar dalam negeri. Produk dari Tiongkok mendominisasi barang-barang elektronik yang sudah tidak terhitung jumlah mereknya. Indonesia juga masih harus mengimpor beras, daging sapi, kedelai, cabai dan sejenisnya dari negara lain yang notabenenya jauh tidak subur dibandingkan kita, seperti Vietnam, Thailand, India, Pakistan dan Myanmar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, Vietnam menjadi pemasok terbesar beras impor Indonesia yang mencapai 171.286 ton dari total 472.000 ton beras yang dimpor.[5]  
Hadirnya era reformasi yang membawa banyak perubahan juga belum mampu menciptakan harapan menjadi kenyataan. Malah perubahan tersebut menimbulkan benih-benih permasalahan baru yang membelenggu tujuan dari pelaksanaannya. Seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh elit semakin bersifat masif. BPK RI mencatat sudah ada 311 kepala daerah atau sekitar 65% dari total kepala daerah di Indonesia tersandung korupsi yang nilai potensi kerugian negara mencapai 36,7 triliun rupiah.[6]
Korupsi sepertinya menjadi budaya baru dan mulai mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia. Korupsi dewasa ini dilakukan oleh lintas kalangan dengan berbagi macam modus. Budaya malu pun mulai terdegradasi dalam diri masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia pun sudah mulai apatis dan semangat gotong royong sudah mulai luntur. Semua tindakan dan kegiatan masyarakat Indonesia dewasa ini berorientasi pada rupiah. Sepertinya pergeseran prilaku budaya Indonesia yang terjadi di era globalisasi ini lebih mengarah ke arah yang negatif. Akselerasi pertukaran budaya yang berlangsung dengan cepat tidak bisa dihadapi masyarakat kita. Masyarakat seharusnya diedukasikan dan dilatih, supaya tidak hanya mendapatkan ampas dari budaya lain. Ampas dalam artian hanya bisa mengambil hal-hal yang negatif dari suatu budaya.
Solusi dari problem tersebut adalah melalui penyerbukan silang antarbudaya yang harus ditelurkan di era globalisasi, yaitu dengan mengambil aspek positif budaya-budaya lain, baik di aras lokal maupun aras global, kerena menurut Samuel P. Hutington, kebudayaan merupakan unsur determinan maju dan mundurnya suatu bangsa. Sehingga sangat penting sekali bagi Indonesia memiliki kebudayaan yang mampu  menghadapi dinamika perubahan di era globalisasi demi menata dan membangun bangsa ini.
Strategi Penyerbukan Silang Antarbudaya di Era Globalisasi
Dalam melihat penyerbukan silang antarbudaya di era globalisasi terlebih dahulu kita harus mengetahui karakteristik prosesnya. Arjun Appadurai mengindentifikasikan karakteristik proses globalisasi harus melalui lima aliran atau pergerakan dari sudut pandang etnik, finansial, teknologi, media dan ideologi dalam aliran yang disjungtif. Disebut disjungtif karena kecepatan, cakupan dan akibat dari aliran-aliran ini tidak harmonis, melainkan aliran ini terbelah-belah dan terputus-putus. Appadurai menggunakan akhiran “scape” pada kelima aliran itu untuk menggambarkan lanskap tak menentu yang dihasilkannya. Kelima aliran tersebut adalah 1) ethnoscapes, lanskap orang-orang yang mendasari pergeseran dunia tempat kita bermukim, seperti turis, imigran, pegungsi dan tenaga kerja asing, 2) finanscapes, lanskap pergerakan modal dan komoditas dalam kecepatan yang mengagumkan, 3) technoscapes, lanskap perubahan dan transformasi tehnologi global, 4) mediascapes, lanskap kapasitas media elektronik dalam memproduksi dan mendiseminasi informasi, seperti surat kabar, stasiun televisi dan studio produksi film berikut citraan dunia yang diciptakan oleh media-media tersebut, dan 5) ideoscapes, lanskap diskursus yang berkaitan dengan artikulasi identitas kolektif, nasional dan individual.[7]
Menurut Woodham, sejarah masyarakat kontemporer di era globalisasi ini dibentuk secara signifikan oleh abad mesin dan tehnologi baru industri kapitalis. Pada masa ini, kapitalisme menjadi kekuatan yang paling penting yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi juga telah mengubah tatanan masyarakat yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan dan mengarahkan masyarakat dalam pembentukan status dan identitas personal dan kolektif. Dalam era ini, media elektronik dan budaya konsumer telah memainkan peranan penting di jantung kehidupan masyarakat kontemporer. Proses tersebut telah menempatkan pasar ditahta tertinggi dalam membangun tata nilai dan tantanan sosial. Pasar juga telah memperluas orientasi masyarakat dan mobalitas sosial sampai titik nadir terakhir yang menyebabkan batas-batas sosial kultural cenderung mengabur akibat berubahnya orientasi ruang dan waktu.[8]
Dalam menjalankan strategi penyerbukaan di era globalisasi, kita juga perlu mengubah persepsi kita tentang kebudayaan. Kebudayaan bukan sekedar merupakan koleksi barang-barang budaya yang disakralkan, melainkan kegiatan manusia untuk menciptakan alat-alat kerja yang senantiasa memberi wujud baru pada pola-pola kebudayaan yang ada. Dengan demikian, secara formal kebudayaan adalah realisasi kemampuan-kemampuan manusia, yaitu sebagai pengembangan segala bakat dan kekuatan kodrat. Kebudayaan terlihat dalam dinamika serta proses realisasinya menuju kedewasaan hidup. Dengan kata lain, kebudayaan terwujud dalam learning process selama hidup.
Dengan kita mengetahui karakteristik globalisasi dan perubahan persepsi tentang kebudayaan, maka penyerbukan silang antarbudaya di era globalisasi bisa dilakukan dengan menyilangkan antara budaya lokal dengan lokal, budaya asing dengan lokal maupun budaya nasional dengan asing yang di-frame menjadi budaya nasional dengan tetap memperhatikan pergerakan dari sudut etnik, finansial, teknologi, media dan ideologi yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, sehingga kebudayaan yang ditelurkan memang memiliki mutu yang berkualitas tinggi.  Budaya akan menjadi spirit baru masyarakat Indonesia dalam mengejar ketertinggalan, baik itu budaya yang berupa etos kerja, kepribadian, kedisiplinan, keterampilan dan lainnya.
Banyak contoh penyerbukan silang antarbudaya yang sudah dilakukan dan dinilai berhasil, seperti, Batik Tiga Negeri Tambal, batik ini merupakan hasil silang antar budaya (antar kelompok agama dan etnik) dan kerjasama teknis-ekonomis lintas daerah. Batik motif Tambal umumnya ditemukan pada gaya batik pedalaman (Yogya dan Solo). Sedangkan batik Tiga Negeri umumnya dikenal sebagai batik multikultural yang melibatkan pembuatan di tiga daerah, yaitu Lasem, Pekalongan dan Solo. Batik Tiga Negeri bermotif Tambal dari Batang merupakan gabungan desain pedalaman dan peisisiran yang menarik dikaji. Dengan adanya penyerbukan silang antarbudaya tersebut, maka desain batik yang disajikan lebih menarik, sehingga disukai oleh konsumen.
Dibalik keberhasilan tersebut masih ada pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dalam melakukan penyerbukan silang antarbudaya, yaitu bangsa Indonesia masih diembargo dalam budaya lembek (soft culture), pasrah dan terlena oleh alam.[9] Mochtar Lubis menyebut ciri-ciri manusia Indonesia, yaitu: hipokrit, tidak bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, memiliki jiwa feodal, masih mempercayai takhyul, artistik, watak lemah, boros dan sifat buruk lainnya.[10] Sifat-sifat seperti itu memang masih mematri pada mayoritas masyarakat Indonesia. Seharusnya sifat tersebut sudah ditinggalkan oleh masyarakat, karena akan menjadi bumerang bagi masa depan bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia saatnya untuk berguru pada Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan. Mereka bisa melangkah jauh lebih cepat dibandingkan Indonesia, meskipun keadaan alamnya sangat memprihatinkan. Mereka dewasa ini menjadi kekuatan baru dunia yang mampu bersaing dengan negara-negara Eropa maupun dengan Amerika Serikat. Sejumlah lembaga internasional malah memprediksi ekonomi Tiongkok akan segera melampaui Amerika Serikat, karena dalam satu dekade terakhir pertumbuhan ekonominya sangat fantastis.[11]  Mereka bisa demikian, karena memiliki budaya kerja, semangat juang pantang menyerah dan kepercayaan diri yang tinggi. Namun bangsa Indonesia sebaliknya, terlalu dininak bobokan dengan alam Indonesia nan kaya. Masyarakat Indonesia masih mengadopsi sifat-sifat yang telah disebut oleh Mochtar Lubis di atas, sehingga kekayaan alam yang luar biasa melimpahnya hanya dikeruk asing dan dibawa mentahnya ke luar negeri. Padahal Ir. Sukarno pernah mengatakan bahwa kita harus menjadi bangsa yang berdikari, baik di bidang ekonomi, politik maupun budaya. Namun apa yang dikatakan Sukarno itu tidak didengar oleh pemimpin setelahnya. Kekayaan alam bangsa ini malah digadaikan kepada asing.
Sukarno juga dengan kepercayaan diri yang tinggi mengatakan: “aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara besar iri dengan Indonesia dan aku tinggalkan sampai bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya”. Lalu kalau alam sudah mengikis dan kebudayaan sudah terdegradasi, apa yang akan diwariskan kepada anak bangsa ini? Warisan yang paling bisa diturunkan adalah dengan membangun sebuah budaya nasional yang kuat dan inovatif, sehingga mampu membentuk mental-mental baja dalam menghadapi gelombang globalisasi.
Wadah Penyerbukan Silang Antarbudaya
Dalam mengimpelmentasikan penyerbukan silang antarbudaya di Indonesia tentunya tidak mudah. Mengingat mayoritas masyarakat Indonesia masih banyak memiliki sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan sikap yang cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap asing dan merasa budayanya sebagai budaya yang terbaik. Menurut Adorno, orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul dan pemeluk agama yang fanatik. Ciri-ciri yang disebutkan oleh Andorno tersebut sepertinya masih melekat di masyarakat kita, sehingga dalam mengimplementasi penyerbukan silang antarbudaya harus dibuatkan sebuah formula untuk mengeliminasi konflik. Formula yang dimaksud adalah strategi pendekatan yang bisa diterima oleh semua masyarakat, sehingga etnosentrisme yang masih mematri dalam mayoritas masyarakat bisa dilunakkan demi membangun budaya bangsa yang bermartabat.
Formula yang dimaksud bisa dilakukan melalui pendekatan budaya. Pendekatan budaya mempertanyakan makna pembangunan nasional dan berusaha mencari pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya untuk menemukan jalan yang bermakna. Untuk itu, pendekatan budaya menurut Johan Galtung harus bisa melibatkan tiga unsur yang berbentuk segitiga, yaitu data, teori dan nilai.[12] Dari pendapat Galtung tersebut, maka dalam melakukan penyerbukan silang antarbudaya harus berpijak pada data objektif, sebab tanpa adanya data tersebut budaya hasil penyerbukan akan hanya merupakan utopia yang tidak tahu ujung pangkalnya. Data yang dimaksud merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai positif yang dimiliki oleh budaya yang akan diserbukkan.
Pendekatan tersebut bisa dilakukan melalui kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan harus bisa menyiapkan pelajaran-pelajaran yang bisa mengambil segi positif dari beragam budaya yang ada di nusantara, mulai dari Aceh-Papua, maupun budaya asing, seperti India, Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Budaya-budaya itu akan dijadikan sebagai budaya nasional yang akan membentuk generasi yang mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi di era globalisasi.
Strategi penyerbukan silang antarbudaya juga bisa dilakukan dengan membangun sebuah instansi pendidikan yang bisa menampung seluruh perwakilan suku bangsa atau daerah yang ada di Indonesia. Sekolah ini akan menjadi wadah penyerbukan silang antar budaya yang memiliki tugas dan fungsi untuk menginternalisasikan nilai-nilai positif masing-masing daerah (budaya) melalui suatu interaksi. Dewasa ini yang bisa dijadikan rujukan adalah IPDN. Meskipun konsentrasi pendidikannya adalah bidang pemerintahan, tetapi sekolah kepamongprajaan ini dijuluki sebagai miniatur NKRI. Disebut demikian karena praja (baca: mahasiswa) IPDN berasal dari seluruh pelosok nusantara. Hampir setiap kabupaten/kota memiliki perwakilannya.
Tentunya konsep pendekatan kurikulum dan membentuk wadah (sekolah/universitas) yang bertugas menginternalisasi nilai-nilai budaya yang positif akan menjadi strategi baru dalam membangun kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia yang terbangun dari hasil penyerbukaan ini diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung nilai moral agama yang hidup di bangsa ini. Diharapkan ini akan menjadi langkah baru dalam menyongsong masa depan bangsa yang mampu meraih cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alenia empat, yaitu mencerdaskan, melindungi dan mensejahterakan serta ikut memelihara ketertiban dunia.




[1] Manuel A. Vasquez dan Marie Friedmann Marquardt, Globalizing the Sacred: Religion across the Americas (New Brunswick, New Jersey dan London: Rutgers University Press, 2003), hal. 37.
[2] Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduki Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 107.
[3] Istilah Penyerbukan Silang Antarbudaya (Cross Cultural Fertilization) digagas oleh Aan Rukmana dan Eddie Lembong. Istilah ini berbeda dengan artikulasi atau multikulturisme. Ide asimilasi budaya yang secara politik digulirkan oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) sejak tahun 1932 yang kemudian mendapat sambutan positif dari pemerintahan sejak tahun 1960 dan dipraktekkan dengan masif pada era Orde Baru berangkat dari pandangan bahwa budaya minor dalam hal ini budaya Tionghoa harus masuk ke dalam budaya mayor. Maka sejak saat itu, banyak warga keturunan Tionghoa yang berubah nama menjadi nama  Jawa dan lain sebagainya sebagai bagian dari implementasi gagasan asimilasi. Ide ini tidaklah buruk, akan tetapi untuk konteks saat ini perlu ditinjau kembali sesuai dengan konteks kekinian. Dalam konsep asimilasi masih ada anggapan budaya mayoritas dan budaya minoritas, jadi sebuah budaya dilihat bukan dari sisi kualitasnya melainkan dari kuantitasnya. Ini berbeda dengan ide penyerbukan silang antarbudaya yang berangkat dari kualitas masing-masing budaya, sehingga tidak perlu dipersoalkan apakah budaya itu minoritas asalkan ia memiliki keunggulan maka dapat kita pelajari juga. Lihat di http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/46/2013/10/aan-rukmana_warisan-dan-pewarisan-budaya_penyerbukan-silang-budaya_penyerbukan-silang-antarbudaya.pdf.  
[4] Lihat Data BPS tahun 2010
[5] “Tahun Lalu, Indonesia Impor Beras dari Lima Negara (05/02/2014)”, tempo.co, diakses tanggal 24 April 2014.
[6] “311 Kepala Daerah Tersandung Korupsi (10/01/2014)”, Lihat di http://bareskrim.com/wp-content/uploads/2013/10/KEPALA-BARESKRIM.jpg, diakses tanggal 5 Mei 2014.
[7] Arjun Appadurai, Modernity at Large, Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), hal. 33-37.
[8] Rahmat Hidayatullah, “Artikulasi Simbol-Simbol Islam dalam Lanskap Budaya Populer Indonesia”, (Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban, 2012), hal. 90-91.
[9] Menurut Arnold J. Toynbee (1889 – 1975) bangsa-bangsa yang mendiami wilayah di sekitar garis khatulistiwa dikenal memiliki budaya yang lembek (soft culture). Toynbee yang menelaah delapan pusat peradaban dunia, dan kemudian menghasilkan teori Challenge and Response itu, mengemukan bahwa suatu kebudayaan akan tumbuh manakala ia mampu menghadapi tantangan yang datang dari tempat dimana ia hidup. Hal serupa disampaikan juga oleh Tokuyama Jiro, peneliti dari Nomura Institute, bahwa bangsa agraris biasanya lebih subsisten, bersifat pasrah dibandingkan bangsa Barat yang lebih keras, karena harus berburu untuk bertahan hidup. Disini alam agraris cenderung memanjakan manusia yang hidup di atasnya. Mereka pun tidak memiliki daya saing yang kuat sebagaimana bangsa yang memiliki empat musim. Lihat di http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/3728-penyerbukan-silang-antarbudaya-1-bagian-kedua.
[10] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hal. 18-34.
[11] “Sebentar Lagi, Ekonomi Cina Lampaui AS (04/05/2014)”, http://m.republika.co.id, diakses tanggal 6 Mei 2014.
[12] Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan ( Jakarta: PT. Gramedia: 1989), hal. 5.

No comments:

Post a Comment