Oleh: Dedet Zelthauzallam
Dalam
kurun waktu satu dekade terakhir, politisi selalu menjadi penghias media cetak
dan elektronik. Politisi menjadi sorotan media, karena perilaku (oknum)
politisi yang amat tak etis. Tak etis dalam artian mayoritas tindakan yang dilakukannya
merugikan publik. Mereka sepertinya hanya menjual nama rakyat untuk memuluskan
kepentingan pribadi, golongan dan partainya.
Kasus
korupsi yang terjadi di Republik ini menjadi bukti nyata dari potret politisi
kita dewasa ini. Dimana para politisi masih memimpin diposisi atas daftar
tersangka kasus korupsi. Ini bisa dilihat dari data di KPK, dalam kurun waktu
2007-2014 ada 74 anggota DPR RI yang tersandung kasus korupsi. Belum lagi dihitung
anggota DPR dan DPRD yang kasusnya ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Ini
baru dilihat dari lembaga legislatif, belum lagi dilihat dari politisi yang
duduk di lembaga ekskutif yang menduduki jabatan strategis, seperti menteri,
gubernur dan bupati/walikota, jumlahnya akan semakin banyak.
Model
korupsi para politisi pun beraneka ragam. Ada yang menerima fee proyek, gratifikasi, penggelembungan
anggaran, permainan proyek, lelang barang dan jasa serta kasus lainnya yang
tergolong korupsi. Korupsi ini pun dilakukan dengan berbagai alasan, mulai dari
memperkaya sanak saudara, pembiayaan kampanye partai politik, sampai pada alasan
politik balas budi.
Sepertinya
politisi dewasa ini memperaktikkan politik yang pernah dikatakan oleh Harold
Laswell yang menyatakan bahwa politik merupakan proses sosial yang menentukan
siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Politik seperti itu akan menghasilkan paradigma
berorientasi profit bukan benefit, yang hanya akan menghasilkan
politisi yang menjujung pragmatisme.
Menurut
Etty Indriati dalam bukunya Pola dan Akar Korupsi, korupsi merupakan problem
universal peradaban. Di era negara demokrasi modern, koruptor dan pejabat korup
membeku dalam waktu, ketinggalan jaman, karena hidup di jaman sekarang, tetapi
perilakunya masih sama dengan perilaku di abad pertengahan. Perilaku yang
dimaksud seperti: membangun kekuasaan berbasis kekerabatan, mengumpulkan upeti,
komisi dan gratifikasi.
Perilaku
membangun kekuasaan berbasis kekerabatan bisa dilihat dari beberapa daerah. Tentunya
yang paling populer adalah dinasti Atut di Banten. Sedangkan ditingkat pusat
juga masih terjadi dibeberapa partai politik. Dimana anak dan keluarganya
memegang jabatan strategis.
Masalah
korupsi merupakan maslaah yang akut di Republik ini, sehingga dibutuhkan sebuah
formula khusus. Formula yang kira-kira bisa memotong korupsi yang sudah membudaya
dan berakar dalam kehidupan sosial masyarakat.
Sebenarnya
dalam hal memberantas korupsi, Indonesia bisa belajar dari Singapura. Singapura
di bawah pimpinan Lee Kuan Yew mampu melepas diri dari jeratan korupsi yang membelenggu
negaranya. Ketegasan Lee yang tidak memberi ampun bagi koruptor kelas kakap
menjadi kunci keberhasilannya. Hasilnya bisa dilihat dewasa ini, Singapura
menjadi salah satu negara yang memiliki indeks pendapatan per kapita yang
tinggi. Jauh meninggalkan Indonesia yang katanya negeri yang subur nan kaya.
Lalu
yang menjadi pertanyaannya, korupsi di Indonesia harus dimulai dari siapa dan
darimana? Tentu jawabannya adalah mulai dari para pemimpinnya. Pemimpin yang
dimaksud adalah mereka yang memiliki power
full, sehingga bisa mempengaruhi bawahannya. Itulah yang dimaksud oleh Lee
Kuan Yew sebagai pemberantasan korupsi top
down.
Indonesia
pun berharap banyak pada presiden dan wakil presiden hasil Pilpres 2014, yaitu Jokowi-JK.
Diharapkan Jokowi dan Jusuf Kalla mampu menjadi pioner dalam memberantas
korupsi tanpa memandang bulu. Ini bisa dilakukan melalui berbagai cara. Salah
satunya adalah dengan lebih memperkuat KPK, baik dari segi kewenangannya maupun
sumber dayanya. Kepemimpinan Jokowi-JK juga diharapkan bisa membuat KPK dengan
dua lembaga penegak hukum lainnya, kejaksaan dan kepolisian bisa harmonis,
sehingga tidak ada lagi istilah cicak dan buaya dalam memberantas korupsi.
Politisi
harus menjadi target yang paling utama untuk bisa meminimalisir korupsi, karena
mau tidak mau, suka tidak suka, korupsi sering kali di era demokrasi langsung
dewasa ini bermula dari (oknum) politisi. Politisi di Republik Indonesia,
meminjam pikiran Weber, sebaiknya bukan pencari kerja, tetapi mereka yang sudah
mapan secara ekonomi. Mapan secara ekonomi pun menurut saya tidak cukup, tetapi
mereka yang sudah bebas dari dirinya. Artinya, politisi yang dibutuhkan adalah
mereka yang benar-benar mendedikasikan dirinya demi kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan kroni-kroninya.
Untuk
menghasilkan politisi seperti itu, dibutuhkan peran partai politik dalam
melakukan kaderisasi. Jangan sampai rekrutmen yang dilakukan hanya pada mereka
yang berduit, tanpa melihat kapasitas dan integritas yang dimilikinya. Tentunya
konsistensi dari partai politik dibutuhkan untuk bisa menghasilkan politisi
bukan pencari kerja.
Diharapkan
Jokowi bisa membuat payung hukum dalam memperbaiki sistem kaderisasi parpol dan
persyaratan politisi yang bisa maju dalam pemilihan legislatif maupun ekskutif.
Dengan seperti itu, maka akan ada filterisasi
politisi yang masuk dalam ranah parlemen dan pemerintah. Apabila hal ini bisa
dilakukan, maka saya pribadi yakin dan percaya, korupsi akan bisa diminimalisir
dan para politisi akan bekerja dengan satu nafas, yaitu mencapai cita-cita
kemerdekaan Republik Indonesia.
No comments:
Post a Comment