Oleh: Dedet Zelthauzallam
Korupsi
di Indonesia semakin hari semakin menjamur ke semua kalangan. Publik sering
menganalogikannya seperti penyakit akut yang tidak akan bisa disembuhkan dan
malah menjalar kesana kemari. Korupsi katanya sudah menjadi budaya di negeri
kita. Itulah anggapan mayoritas rakyat Indonesia. Namun, anggapan tersebut
tidak boleh dan tidak bisa dipelihara, karena bangsa Indonesia dibangun dari semangat
optimisme bukan pesimisme.
Praktek
korupsi bukanlah praktek yang dilakukan oleh kaum mayoritas, tetapi oleh
minoritas. Kaum minoritas yang memiliki kekuasaan di negeri ini. Merekalah aktor
utamanya. Kekuasaan mereka jadikan sebagai wahana memperkaya diri demi meraih
profit yang semaksimal mungkin tanpa memikirkan benefit untuk kaum mayoritas. Tentunya
tidak semua pemegang kekuasaan memiliki sifat rakus, hanya segelintir orang
saja. Itulah sebabnya kita harus yakin korupsi itu bisa diminimalisir dari
negeri yang kaya ini.
Kaum
mayoritas harus yakin korupsi bukanlah penyakit yang tidak bisa disembuhkan,
tetapi penyakit yang bisa disembuhkan. Sebenarnya obat yang paling mujarap
untuk memberantas korupsi ada di tangan pemegang kedaulatan tertinggi di negeri
ini, yaitu rakyat. Rakyat harus menggunakan kesempatan yang diberikan untuk
memberantas akar korupsi. Kesempatan itu ada pada saat demokrasi langsung atau
pemilu di negeri ini dilaksanakan. Pada saat inilah seharusnya semua rakyat mengeluarkan
obat untuk menyembuhkan penyakit di negeri tercinta ini.
Rakyat
sebenarnya memiliki kendali terbesar di Indonesia dengan sistem one man,one vote, one value. Semua memiliki
hak yang sama dan bernilai sama. Mau itu kalangan akademis, petani, buruh,
nelayan, pejabat, pengusaha dan lainnya sama saja. Sama-sama suaranya dihitung
satu dalam proses pemilu. Tetapi yang jadi masalah adalah ketika suara kaum
mayoritas yang notabenenya memiliki pengetahuan yang minim dan ekonomi yang di
bawah rata-rata dijual belikan oleh mereka yang memiliki ekonomi yang di atas
rata-rata.
Dari
masalah jual beli suara tersebutlah, maka korupsi di negeri ini semakin
merajalela, karena pemegang kedaulatan tertinggi memberikan legitimasi terhadap
praktek itu. Seharusnya pemegang kedaulatan mengatakan tidak pada money politic, tetapi menyatakan bahwa
kami butuh mereka yang memiliki kapabilitas dan integritas dalam menyampaikan
dan memperjuangkan aspirasi kaum mayoritas. Itulah yang seharusnya dilakukan,
tetapi butuh proses dalam membentuk rakyat seperti itu.
Pemilih
cerdas memang perlu dibangun dan dipersiapkan demi meraih cita-cita luhur founding
father negeri ini, yaitu mencerdaskan, melindungi dan mensejahterakan
seluruh rakyat Indonesia. Pemilih cerdas bukan mereka yang memilih karena
mereka diberikan uang dan janji serta retorika yang menghipnotis. Bukan juga memilih
karena mereka populer. Bukan juga memilih karena alasan hubungan kedekatan. Tetapi
pemilih cerdas adalah pemilih yang mampu memfilterisasi pilihan ke orang yang
memang memiliki integritas yang mumpuni.
Itulah
yang seharusnya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Namun apabila melihat kenyataan
di lapangan, maka pemilih cerdas akan sulit kita temukan dalam waktu dekat ini,
karena mengingat rata-rata pendidikan rakyat Indonesia hanya 8 tahun (setara
SMP) dan ekonomi rakyat masih banyak di bawah angka kemiskinan. Faktor
pendidikan dan ekonomi sudah cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa
pemegang kedaulatan tertinggi akan masih menjual belikan suara mereka kepada
para pemburu kekuasaan. Jangan heran apabila di pemilu kali ini money politic masih dilakukan.
Lalu
kalau begitu bagaimana cara meminimalisir praktek jual beli suara? Caranya adalah
perlu adanya ketegasan pihak yang berwenang untuk memberikan sangsi kepada
mereka yang memberikan dan mereka yang menerima. Pihak yang memberikan bisa
diberikan sangsi berupa didiskualifikasikan dari bursa pencalonan dan partai
yang mengusungnya pun diberikan sangsi berupa pemotongan suara pada saat pemilu
(sekian persen dari perolehan suara partai). Sedangkan untuk penerima sangsinya
bisa berupa pencabutan hak pilihnya dalam beberapa pemilu.
Apabila
sangsi di atas diterapkan, maka pihak yang memberi dan menerima akan berpikir
berjuta kali untuk melakukan money
politic. Tetapi saat ini bisa dilihat bagaimana para calon dari
partai-partai tertentu jelas-jelas melaksanakan pelanggaran jual beli suara,
baik itu yang terekam kamera maupun yang tidak, sampai saat ini masih belum
mendapatkan sangsi. Jadi jangan salahkan mereka yang terpilih, apabila kelak kebijakan yang dihasilkan tidak pro pada rakyat,
karena mereka pastinya akan berusaha membalikkan modal mereka.
Sepertinya
pemilu 2014 yang menghabiskan triliunan uang negara akan sia-sia. Ini disebabkan
oleh ketidaktegasan penyelenggara pemilu pada mereka yang melanggar. Dan para pemilih
pemilu 2014 masih meng-iya-kan money
politic. Sekarang kita sebagai anak bangsa yang optimis harus berdo’a
supaya Tuhan memberikan pencerahan pada pemegang kekuasaan tertinggi (rakyat) untuk
memilih bukan karena uang tetapi karena kapabilitas dan intergritasnya. Kaum optimis
pasti akan percaya pada suatu saat bangsa Indonesia akan dianugrahi rakyat yang
cerdas dalam memilih dan membantu memotong akar korupsi, sehingga bangsa ini
akan jaya.
No comments:
Post a Comment