Oleh : Dedet Zelthauzallam
Di
era reformasi peran media begitu sangat penting untuk memberikan informasi
kepada publik. Masyarakat pun menjadikan media, baik media cetak, elektronik
dan maya sebagai sumber informasi utamanya. Masyarakat pun sering menghakimi
seseorang, lembaga/organisasi atau suatu peristiwa hanya dengan melihat berita
di media. Padahal informasi dari media itu penuh dengan unsur kepentingan.
Media saat ini tidak bisa dijamin mampu memberikan data yang valid, akurat dan
terpercaya.
IPDN
sebagai satu-satunya lembaga kedinasan kepamongprajaan di bawah naungan
Kementerian Dalam Negeri juga tidak lumput dari pandangan media. Para pencari
informasi seolah-olah menjadikan IPDN sebagai lumbung dari informasi yang
bersifat negatif. Dikatakan negatif karena kebanyakan informasi tentang IPDN
hanya untuk memojokkan, merusak dan atau bisa dikatakan menghancurkan sekolah
kepamongprajaan ini.
Media
sering mengaitkan IPDN dengan kasus kekerasan, pemukulan dan seks. Memang benar
di IPDN pernah terjadi kasus seperti itu, tetapi hanya dilakukan oleh oknum praja (sebutan peserta didik di IPDN).
Kasus kekerasan antar praja yang sampai membuat praja meninggal memang pernah
terjadi. Tiga kali kasus praja meninggal karena kekerasan. Kasus itu terjadi
pada tahun 2000, 2003 dan 2007. Tiga kasus itu merupakan sejarah kelam lembaga
kedinasan kepamongprajaan IPDN. Tiga kasus tersebut mungkin sebagai pukulan
IPDN untuk lebih melakukan terobosan untuk mampu mencetak kader pemimpin yang
professional.
IPDN
sebagai lembaga kedinasan sangat mengutuk keras yang namanya kekerasan dalam
bentuk apa pun. Hal ini bisa dilihat dari peraturan yang berlaku di IPDN.
Kekerasan dan seks dikatagorikan sebagai pelanggaran berat. Dimana sangsinya
adalah dikeluarkan dari sekolah kepamongprajaan ini.
Akhir-akhir
ini, IPDN kembali lagi diburu oleh media, karena ada salah satu praja IPDN
tingkat III (Nindya Praja) meninggal. Banyak media mengaitkan kematian praja
ini disebabkan karena kasus kekerasan. Padahal kematian praja tersebut disebabkan
oleh kecelakaan murni. Inilah media yang hanya bisa memodifikasi atau
memelintir informasi.
Tanggal 20 Februari 2013, di sebuah media
kembali mengungkit tiga kekerasan yang pernah terjadi beberapa tahun silam.
Media tersebut mengaitkan dengan kematian praja yang terjadi baru-baru ini.
Secara tidak langsung media ingin membuat opini public tetang IPDN tidak baik.
Media atau oknum yang tidak pro dengan IPDN, seolah-olah ingin mngembalikan
memori masyarakat pada tahun 2007. Dimana pada waktu itu banyak yang menuntut
IPDN dibubarkan karena kasus kematian praja akibat kekerasan.
Praja
menjawab: “semua pemberitaan di media
yang menyebutkan kekerasan di IPDN itu
semuanya bohong”. IPDN saat ini sudah tidak mengenal namanya kekerasan. Kekerasan
dikutuk keras di lembaga kepamongprajaan ini. Praja tidak berani melakukan
tindakan kekerasan karena sangsinya berat. IPDN saat ini mengubah paradigma
hubungan, dari senior-junior menjadi hubungan kakak-adek. Dimana hubungan ini
diharapkan akan tumbuh sikap saling asah, asih dan asuh antar praja. Jadi
kekerasan di IPDN sudah dikatakan basi dan dukutuk keras.
Media
diharapkan untuk mampu memberikan informasi yang valid kepada masyarakat
tentang IPDN. Media harus bersikap netral dalam membuat berita. Media jangan
asal menulis, tanpa data yang akurat dan valid. Media jangan membuat opini
public menjadi buruk terhadap IPDN. IPDN merupakan aset atau saham bangsa
Indonesia. IPDN merupakan miniature dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), karena di IPDN terdapat perwakilan setiap daerah kabupaten/kota di
Indonesia.
Sekali
lagi peran media jangan hanya untuk memperkeruh citra IPDN. Media harus mampu
menyampingkan kepentingan-kepentingan oknum/elite yang mau melihat IPDN bubar.
IPDN harus tetap berdiri untuk masa depan lebih baik dan kesatuan NKRI. Media diharapakan
mampu membantu IPDN untuk meningkatkan citra IPDN di public.
ya saya rasa begitu.
ReplyDelete