Oleh: Dedet Zelthauzallam
Revolusi
mental menjadi kata yang sangat familiar pasca dijadikan sebagai tagline kampanye pasangan Jokowi-JK
dalam pilpres 2014. Revolusi mental cukup menarik perhatian mengingat keadaan
Indonesia memang membutuhkan perbaikan mental, baik mental individu maupun
mental sosial masyarakatnya. Dengan adanya perbaikan mental tentunya menjadi
harapan bagi perbaikan keadaan Indonesia ke depannya, sehingga Indonesia mampu
mencapai cita-cita berbangsa dan bernegara.
Gagasan
revolusi mental ini sebenarnya gagasan lama yang digaungkan kembali. Gagasan ini
lebih dulu diperkenalkan oleh bapak proklamator, Bung Karno, pada tahun 1957. Ini
disebabkan oleh adanya degradasi semangat juang pasca kemerdekaan. Padahal tujuan
dari revolusi Indonesia belum selesai, karena kemerdekaan merupakan gerbang
emas, sehingga masih sangat membutuhkan semangat juang para pejuang
kemerdekaan. Itulah sebabnya, Bung Karno menggaungkan revolusi mental supaya
rakyat Indonesia tidak mandek dalam memperjuangkan tujuan awal yaitu
mensejahterakan tumpah darah Indonesia.
Menurut
Bung Karno, esensi dari revolusi mental adalah harus adanya perubahan pola
pikir, cara kerja dan cara hidup dari rakyat Indonesia. Revolusi mental menurutnya
ialah sebagai suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi
manusia Indonesia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang
rajawali dan berjiwa api yang menyala-nyala. Bung Karno menyadari bahwa revolusi
mental ini bukanlah pekerjaan sehari dua hari, melainkan sebuah proyek nasional
jangka panjang dan bersifat sustainable
development. Itulah sebabnya, pemerintahan baru, Jokowi-JK, sangatlah tepat
telah menggaungkan kembali revolusi mental Bung Karno mengingat keadaan Republik
dewasa ini.
Dewasa
ini, revolusi mental, menurut saya, sebagai sebuah kebutuhan yang bersifat
mendesak. Ini disebabkan oleh adanya degradasi moral dari anak bangsa yang
sudah mencapai titik nadir. Sebagai contoh, korupsi semakin merajalela, tindakan
asusila tak terkontrol dan sikap perilaku tak mencerminkan budaya Indonesia. Hal
itu telah menjangkit hampir seluruh lapisan masyarakat dari tingkat teratas
sampai terbawah. Perilaku tersebut, tentunya muncul dari adanya mental yang
rusak. Rusaknya mental inilah perlu direvolusi melalui sebuah gerakan nyata
kepada masyarakat.
Menurut
Karlina Supelli, sekolah sebagai lembaga pendidikan menjadi lokus yang tepat
untuk memulai revolusi mental. Revolusi mental tidak perlu mengubah sistem
pendidikan, tetapi bisa ditempuh melalui siasat kebudayaan untuk membentuk etos
warga negara. Etos menjadi sangat urgen
dalam menunjang kinerja dalam melaksanakan pekerjaan. Tanpa ada etos yang
berlandaskan pada nilai-nilai kehidupan bangsa, Pancasila, maka akan bisa
menjadi bumerang dalam lingkungan masyarakat.
IPDN
sebagai lembaga pendidikan kedinasan yang berada di bawah Kementerian Dalam
Negeri tentunya sangat cocok dijadikan sebagai wadah memulai memperkenalkan
revolusi mental. Ini disebabakan oleh IPDN memiliki praja (baca: mahasiswa)
yang berasal dari hampir seluruh kabupaten/kota. Menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo
Kumolo, pada bulan Juni 2015 yang bertepatan dengan pelantikan pamong praja
muda angkatan XXII, praja IPDN akan dijadikan sebagai pelopor dari revolusi
mental. Konsep dari revolusi mental menurut rektor IPDN, Suhajar Diantoro,
sedang dimatangkan, karena sebenarnya revolusi mental sudah dilaksanakan sejak
dulu di IPDN.
Tentunya
konsep revolusi mental yang akan disiapkan oleh IPDN tidak akan mengubah sistem
pendidikan IPDN, yaitu tri tunggal
terpusat (pengajaran-pelatihan-pengasuhan). Namun akan lebih dimatangkan, supaya
lulusan IPDN yang disebut sebagai pamong praja lebih bisa menjawab kebutuhan dan
persoalan masyarakat yang bersifat dinamis. Sebenarnya sistem pendidikan di
IPDN sudah sangat tepat untuk mencetak kader pemimpin daerah maupun pusat,
karena lulusan IPDN diharuskan untuk memiliki tiga kemampuan, yaitu teoritis,
legalistik dan emperik. Dengan tiga kemampuan itu, praja IPDN diyakini akan
bisa memberikan warna lebih di tengah masyarakat.
Apabila
melihat di lapangan, sudah banyak lulusan IPDN yang bisa berperan lebih di
tengah-tengah masyarakat, yang tersebar dari Sabang-Merauke. Mereka berdiri terdepan
sebagai pioner perubahan di daerah. Mereka mampu menjadi pamong yang mengayom
masyarakat tanpa mengenal status. Tinggal sekarang, bagaimana pemerintah harus
bisa menjaga kepemimpinan pamong praja di tengah-tengah tensi politik yang
serba tak menentu. Kencangnya angin politik ini terkadang bisa mengubah sifat
kepemimpinan kepamongprajaan yang sebenarnya. Pada akhirnya, konsep
kepemimpinan pamong praja akan tereleminasi oleh kepentingan kasat mata, karena
sudah terkontaminasi oleh mayoritas masyarakat. Untuk itulah, apabila IPDN
dijadikan sebagai pelopor revolusi mental, maka sebaiknya perlu disiapkan rel
yang jelas yang akan dilalui oleh para pamong praja. Apabila tidak, maka nothing konsep tersebut bisa berdiri
kokoh di tengah badai politik. Artinya adalah konsep ini harus dibarangi dengan
legalitas bagi para pamong praja, sehingga nilai kepamongprajaan bisa tetap
terjaga dan dibumikan sebagai salah satu cara mewujudkan revolusi mental di
tengah-tengah masyarakat.
No comments:
Post a Comment