Pages

Sunday, 9 November 2014

PAHLAWAN MASA KINI?

Ilustrasi Pahlawan by Google
Oleh: Dedet Zelthauzallam
H-4 menjelang peringatan hari pahlawan 2014, Presiden Republik Indonesia, Jokowi, memberikan gelar pahlawan kepada empat tokoh yang dinilai berjasa untuk Republik ini. Empat tokoh tersebut yaitu Letjen Djamin Ginting, Sukarni Kartodiwirjo, KH. Abdul Wahab Chasbullah dan Mayjen TKR HR Mohammad Mangoediprojo. Ini merupakan gelar pahlawan pertama yang disematkan oleh presiden ketujuh RI.
Dengan ditambahkan empat tokoh tersebut sebagai pahlawan nasional, tentunya menambah daftar pahlawan Republik ini yang sudah mencapai kisaran 163 pahlawan nasional. Jumlah ini jauh melebihi jumlah pahlawan negara-negara lain yang hanya memiliki pahlawan rata-rata 50 pahlawan, termasuk negara Paman Sam yang menjadi negara super power dewasa ini.
Gelar pahlawan nasional ini merupakan gelar yang tak sembarangan orang bisa mendapatkannya. Namun disisi lain juga banyak yang berpendapat bahwa pahlawan di Indonesia tidak memiliki indikator yang jelas, sehingga lebih bersifat politis. Artinya, gelar pahlawan nasional akan disematkan kepada seorang tokoh berkat adanya dukungan politik bukan dukungan kapasitas yang dimiliki tokoh tersebut. Sebagai contoh, sang founding father, Soekarno, baru mendapatkan gelar pahlawan nasional pada tahun 2012. Padahal sejarah telah mencatatnya sebagai pioner lahirnya Republik ini. Dengan contoh tersebut, timbulah pertanyaan, mengapa gelar pahlawan Soekarno lamban dan ada apa dibalik itu. Jawabannya sudah menjadi rahasia umum yang semua bisa menjawabnya tetapi dengan kebisuan dalam ketidakberdayaan.
Dari contoh tersebut, kita sebagai generasi dewasa ini perlu mengintropeksikan diri kita masing-masing untuk menyatukan persepsi apa itu sebenarnya yang dimaksud pahlawan nasional. Jangan sampai gelar pahlawan nasional diberikan hanya karena adanya unsur like dislike, karena hal itu akan menjadi preseden yang buruk bagi generasi penerus cita-cita Republik ini. Jangan sampai dimasa yang akan datang, Republik ini kebanjiran pahlawan, namun keadaan stagnan.
 Terlepas dari unsur like dislike maupun unsur lainnya, para tokoh yang sudah tercatat sebagai pahlawan nasional, jumlahnya sekitar 163 orang, mungkin dulu tak pernah bekerja dengan niatan untuk mendapatkan gelar tersebut, tetapi mereka benar-benar bekerja untuk mendedikasikan diri demi kemajuan Republik ini, baik itu pahlawan pra kemerdekaan, kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan.
Kebanyakan tokoh tersebut bukan sembarangan orang. Sebut saja Hatta. Beliau adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh yang luar biasa untuk Republik ini. Banyak pemikiran yang terlahir darinya yang dijadikan konsep berbangsa dan bernegara yang mengatarkannya sebagai pendamping Soekarno disaat memproklamasikan Republik ini sekaligus menjadi wakil presiden pertama. Meskipun begitu, Hatta tidak pernah memposisikan dirinya sepertinya kebanyakan pejabat dewasa ini. Malah Hatta hidup dengan penuh kesederhanaan.
Diperingatan hari pahlawan di tahun 2014 ini, hendaknya harus menjadi momentum bagi semua elemen pewaris Republik ini, mulai dari tingkat terbawah sampai atas untuk sama-sama menyadarkan diri bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang memiliki status jabatan, tetapi pahlawan adalah kita semua yang hidup dalam bingkai Republik ini. Dengan catatan, kita bekerja dalam koridor memajukan bangsa dan negara, bukan penjilat dengan berbalut lipstik belaka.
Apabila kita semua bekerja dengan action penuh inovasi ditambah berpegang pada ambeg para marta, maka itulah sebenarnya pahlawan nasional yang dimaksud. Apalagi bisa membawa perubahan dalam menata masa depan Republik ini menuju titik teratas cita-cita bangsa yang telah dicita-citakan. Dengan begitu, maka seharusnya kalau generasi kita mau dicatat sebagai pahlawan, maka perlu menjadi pendobrak budaya bobrok Republik ini.
Budaya bobrok di Republik ini tentunya bisa dilihat dari problem multidemensi yang melanda Republik ini, mulai dari tingkat korupsi, amoral, sampai mengikisnya nilai-nilai yang sudah tertanam berabad-abad. Korupsi yang tak kenal tempat. Perilaku yang tak kenal tingkat pendidikan. Itu adalah dua contoh yang menyebabkan ketidakberhasilan Republik ini mengejar cita-cita yang sudah tertulis dalam konstitusi.
Generasi Republik ini sepertinya termanjakan dengan kemerdekaan yang penuh dengan kemewahan. Sejarah telah mencatat Indonesia sebagai rebutan bangsa lain, mulai dari Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris sampai Jepang. Indonesia sebagai rebutan bukan tanpa alasan. Alasannya adalah di atas tanah Indonesia bisa tumbuh segala jenis tanaman dan di bawah tanahnya pun terdapat limpahan kekayaan alam yang tak terhitung nilainya.
Kemewahan tersebut di era kemerdekaan malah menjadi bumerang. Menurut Nasihin Masya dalam bukunya Perjuangan Melawan Kalah  menyatakan bahwa keberlimpahan harta dan tahta bisa membuat kita menjadi jahat. Sepertinya hal inilah yang membuat generasi dewasa ini terlalu dininak bobokan, sehingga apa yang bisa dipenuhi sendiri malah bergantung kepada negara lain yang notabenenya jauh lebih sulit dari pada kita. Sebut saja garam. Garam harus kita datangkan dari negara lain. Padahal Republik ini tiga per empatnya merupakan lautan dan Indonesialah negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Lalu kenapa kita harus impor. Itu pertanyaan yang jawabannya sudah menjadi rahasia umum yang kemungkinan sudah bisa dijawab oleh orang awam sekalipun.
Gagalnya generasi dewasa ini mengelola sumber daya alam membuat Republik ini semakin bergantung dengan negara lain. Tentunya yang memiliki tanggung jawab terbesar adalah mereka yang memegang jabatan. Para pemegang jabatan sepertinya merasa nyaman dan aman saja dengan kondisi yang memperihatinkan ini. Tak ada yang risau. Mereka malah semakin menjadi-jadi dengan semakin meningkatnya fasilitas untuk dirinya sendiri.
Melihat perilaku para pemegang status jabatan di Republik ini tentunya teringat dengan apa yang dikatakan oleh Moh. Hatta yang menyatakan bahwa ketika pintu gerbang terbuka ternyata orang-orang kerdil yang muncul. Ketika Indonesia merdeka, hanya orang-orang busuk yang mengemuka. Sepertinya hal itu benar. Tetapi bisa jadi tidak benar, karena presiden dan wakil presiden hasil pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014 membawa paradigma baru bagi kehidupan di Republik ini. Meskipun belum terbukti tetapi paling tidak ada wacana untuk melakukan inovasi terhadap masa depan Republik ini.
Dengan banyaknya kebobrokan para pemimpin di Republik ini, maka akan sulit bagi mayoritas pemimpin dewasa ini untuk bisa menyandang predikat pahlawan. Kita seharusnya bisa sama-sama menemukan siapa yang kira-kira pantas menyandang predikat pahlawan di era dewasa ini. Kenapa tidak kita menggunakan diri kita sebagai indikator utama. Dengan begitu, maka kita mulai menjadikan diri kita ibarat pahlawan. Tindak dan gerak-gerik kita harus mencerminkan pahlawan sejati yang mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Tidak melakukan sesuatu dengan tujuan populis, tetapi bernafas pada kemajuan bangsa dan negara.
Dengan menjadikan diri kita sebagai pahlawan, maka hal itu akan menjadi vitamin bagi kita semua untuk berlomba-lomba menjadi pahlawan dalam perbaikan Republik ini. Mulai dari kuli, pedagang kaki lima, sopir angkot, buruh, petani, nelayan, PNS, TNI/Polri, sampai presiden akan berada dalam satu harmonisasi hidup yang terbigkai dalam bingkai NKRI. Itu akan berjalan sesuai dengan irama, sehingga akan menghasilkan lantunan yang bisa memikat semua elemen yang majemuk. Dengan begitu, maka cita-cita kebangsaan yang sudah lama diimpikan akan menjadi sebuah kenyataan.
Jadi pahlawan masa kini bukan mereka yang memiliki status kedudukan. Bukan juga guru. Bukan juga para TKI dan TKW. Bukan juga petani dan nelayan. Bukan juga artis yang setiap saat ada di layar kaca. Tidak juga para pengusaha yang bisa memproduksi laba triliunan per tahunnya. Tetapi pahlawan itu adalah kita semua. Kita adalah pahlawan.

*selamat hari pahlawan tahun 2014, dengan mematri dalam diri “kita adalah pahlawan”.


No comments:

Post a Comment