SBY-Jokowi |
Oleh: Dedet Zelthauzallam
Tak ada namanya terlambat. Ungkapan itu sangat pas
menggambarkan bagaimana transisi politik di Republik kita dewasa ini. Transisi
politik dari presiden keenam ke presiden ketujuh tentunya memberikan suasana
yang baru. Dimana baru pertama kali ada tradisi transisi yang sampai saat ini
berjalan dengan baik dan saling dukung mendukung.
Presiden dan presiden terpilih melakukan komunikasi
selayaknya seorang senior ke seorang junior. Dimana presiden dan jajarannya
memberikan gambaran mengenai bagaimana kondisi yang dihadapi. Hambatan,
tantangan sampai peluang disampaikan.
Tentunya ini adalah tradisi yang amat baru di
Republik ini. Kita ketahui bersama bahwa sejak Republik ini berdiri, tak ada
transisi yag berjalan dengan baik, mulai dari Soekarno hingga Susilo Bambang
Yudhoyono.
Transisi antara presiden pertama dan kedua diwarnai
dengan proses yang cukup memberikan perhatian serius dan tanda tanya besar bagi
generasi di Republik ini. Jawabannya pun tak tahu mau dicari dimana. Para
pelaku dan dokumennya pun hilang bagaikan ditelan bumi. Soeharto berdalih,
supersemar yang diberikan oleh Soekarno merupakan bukti penyerahan kekuasaan
kepada dirinya. Tetapi menurut Soekarno, supersemar hanya surat perintah untuk
menstabilkan situasi dan kondisi saat itu. Hal itulah yang menyebabkan hubungan
diatara keduanya tak berakhir dengan cerita indah, penuh dengan luka dan dendam
hingga membekas kepada keluarga dan generasinya (lihat hubungan keluarga
Soekarno dan Soeharto saat ini).
Sepertinya hukum alam pun berlaku bagi presiden
kedua yang populer dipanggil Bapak Pembangunan Republik ini. Setelah 32 tahun
berkuasa, beliau dijatuhkan melalui proses demonstrasi besar-besaran oleh hampir
semua elemen masyarakat, khususnya mahasiswa. Mereka menentang pemerintahan
yang dipimpin oleh Soeharto yang dinilai penuh dengan tindakan yang korup dan
dijalankan dengan otoriter. B.J. Habibi sebagai wakilnya pun naik
menggantikannya. Hubungan diatara keduanya, menurut beberapa sejarahwan, tidak
harmonis.
B.J. Habibi tak lama menduduki kursi RI-1, laporan
pertanggungjawaban beliau tak diterima oleh MPR selaku lembaga tertinggi saat
itu. Dengan demikian, maka dilakukanlah pemilihan umum tahun 1999. Hasilnya,
PDIP menjadi juara. Anehnya kursi RI-1 tak diduduki oleh kader atau ketua umum
PDIP, malah jatuh pada Gus Dur yang merupakan kader PKB yang notabenenya
berasal dari partai kecil. Hanya mereka menang
akibat dibentuk poros tengah yang diisi oleh partai yang berbasis islam.
Gus Dur memimpin Republik ini tak lama. Ini
diakibatkan oleh banyak argumen-argumennya bersifat kontroversial. Dengan tidak
direstui oleh lembaga tertinggi, maka Megawati selaku wakil presiden naik
ketangga puncak. Putri Soekarno menjabat sampai sisa jabatan.
Pada tahun 2004, Republik tercinta ini melaksanakan
pemilihan langsung yang pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Disinilah dimulai cerita awal retaknya hubungan Megawati dengan Susilo Bambang
Yudhoyono. SBY yang awalnya merupakan pembantu (baca: menteri) Megawati maju
sebagai salah satu calon presiden, kemudian keluar menjadi pemenang. Setelah
itu, komunikasi antara Megawati dan SBY tak kunjung menemukan benang merah.
Dalam perjalanan pemerintahan SBY, mulai pelantikan
sampai acara-acara besar, Megawati hampir tidak pernah menghadirinya. Hal itu
terjadi sampai saat ini, yang katanya kebanyakan orang (baca: pengamat) sebagai
biang kerok dari tidak bergabungnya demokrat ke koalisi Jokowi-JK.
Apa yang dilakukan oleh Megawati tak diteruskan
oleh SBY. Dimana SBY sebagai seorang presiden yang akan mengakhiri jabatan yang
telah diemban selama satu dasawarsa melakukan langkah-langkah yang patut
diapresiasi. SBY pernah mengatakan bahwa siapa pun yang terpilih menjadi
presiden, baik Jokowi atau Prabowo, beliau akan menyambutnya dengan upacara
penyambutan ala militer.
Apa yang dikatakan oleh SBY bukan hanya omong saja.
Beliau membuktikannya dengan bagaimana beliau memang sudah mempersiapkan
penyambutan di istana negara pada tanggal 20 Oktober 2014. Beliau juga
menginstruksikan para pembantunya untuk melakukan komunikasi dengan tim transisi,
supaya pemerintahan baru paham dengan keadaan Republik ini.
Transisi Hampir
Ternodai
Menjelang pelantikan Jokowi, ada beberapa
dinamika yang terjadi. Dinamika tersebut bisa tergolong cukup memberikan respon
yang negatif dari publik. Itu disebabkan oleh adanya adu jatos antara koalisi
yang dibangun Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat, dengan koalisinya Prabowo,
Koalisi Merah Putih pada sidang paripurna pembahasan RUU Pilkada sampai memilih
pimpinan DPR/MPR.
Isu mengenai akan adanya penjenggalan terhadap
pemerintahan juga sempat muncul akibat tingginya tensi politik. Namun apa yang
terjadi tersebut akhirnya terjawab dengan bertemunya Jokowi dengan para
petinggi partai Koalisi Indonesia Hebat.
Dengan demikian, maka publik merasa lebih adem-ayam dengan hal tersebut.
Jokowi selaku presiden terpilih tidak
sungkan-sungkan bertemu dengan elit partai Koalisi Merah Putih. Ini adalah
pendidikan politik yang baik bagi publik. Publik akan merasakan efek yang
awalnya galau menjadi sangat yakin bahwa semua elemen akan bergabung dalam
pemerintahan mendatang. Bergabung bukan berarti pemerintah baru bebas kritik,
tetapi akan sejalan apabila kebijakan yang diambil untuk rakyat banyak. Jangan
sampai mereka hanya bertameng atas nama rakyat, tetapi semuanya untuk mereka.
Apa yang dilakukan oleh Jokowi merupakan hal yang
luar biasa. Beliau tahu bahwa Republik ini dibangun di atas Gotong royong. Jadi
semua pihak harus dirangku demi mencapai cita-cita bangsa.
No comments:
Post a Comment