hidup

  • Indonesia.
  • Perkampungan Sasak.
  • Kantor Gubernur.
  • Sukarno.
  • Lombok.

Thursday 21 May 2015

MENGEMBALIKAN SEMANGAT REFORMASI

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan pengunduran dirinya secara resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Ini adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh mayoritas masyarakat Indonesia pada waktu itu, khususnya pemuda/mahasiswa. Rezim orde baru yang memimpin Republik ini selama 32 tahun dikenal penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dibalut dengan kediktatoran. Terlebih pada tahun 1997, Indonesia mulai dilanda krisis. Nilai tukar rupiah turun drastis membuat harga melambung tinggi. Daya beli masyarakat menjadi turun dan kehidupan masyarakat terombang-ambing bagaikan hempasan ombak samudera.
Jatuhnya rezim orde baru tak bisa dilepaskan dari peran para pemuda. Pemuda yang mayoritas masih duduk di bangku kuliah terus menerus mendesak Soeharto untuk turun dari jabatan RI-1. Banyak keringat dan darah bercucuran sampai nyawa melayang. Mereka tidak mengenal takut sedikit pun. Mereka seperti harimau yang baru keluar dari kandang. Mereka bisa dikatakan sebagai pahlawan reformasi kita.
Dewasa ini, pasca 17 tahun reformasi, sepertinya potret Indonesia tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di era orde baru. Malah banyak masyarakat kita yang rindu akan rezim Soeharto. Ini diakibatkan oleh pemerintah di era reformis tidak mampu untuk move on. Artinya, korupsi semakin merajalela dengan kuantitas pelaku semakin tak mengenal lapisan. Dulu hanya berani dilakukan oleh keluarga istana, tetapi dewasa ini semua lapisan dari paling tinggi sampai terbawah pun bisa melakukannya.
Korupsi yang semakin menggila itupun yang menyebabkan pembangunan di era orde baru dinilai lebih bisa dilihat hasilnya dari pada dewasa ini. Belum lagi di era reformasi, ini tingkat disparitas si kaya dan si miskin semakin tinggi. Indeks Gini Indonesia pada tahun 1998 ada di angka 0,38 sedangkan sekarang ada di angka 0,42.
Era reformasi yang lebih bebas tidak bisa menjawab masalah Republik ini. Pemuda pejuang reformasi berguguran satu per satu. Kebebasan yang diberikan malah menjadi celah dalam berbuat lebih untuk dirinya, kelompok dan kroninya. Ujung-ujungnya masyarakat kecillah yang menjadi korban. Korban dari keserakahan individu. Sifat individu inilah yang semakin hari semakin muncul di tengah-tengah masyarakat Republik ini. Padahal dasar negara kita, Pancasila, menurut Soekarno memiliki kunci pada semangat gotong royong. Gotong royonglah yang perlu digelorakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini supaya apa yang dicita-citakan bisa tercapai. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Pada momen 17 tahun jatuhnya orde baru inilah saatnya kita harus mengembalikan semangat reformasi yang berjiwa Pancasila. Kita harus kembali bersatu padu dalam satu irama yaitu mencapai Indonesia sejahtera. Gotong royong adalah sebuah pilihan yang mutlak, bukan pilihan yang dipilih-pilih, karena ke depannya Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih komplit nan dinamis. Semangat gotong royong menjadi kunci menjaga marwah Republik ini. Kalau tidak, maka arus globalisasi yang semakin menjadi-jadi akan menggusur kita, cepat atau lambat.


Monday 4 May 2015

REVOLUSI MENTAL DAN IPDN

Oleh: Dedet Zelthauzallam
Revolusi mental menjadi kata yang sangat familiar pasca dijadikan sebagai tagline kampanye pasangan Jokowi-JK dalam pilpres 2014. Revolusi mental cukup menarik perhatian mengingat keadaan Indonesia memang membutuhkan perbaikan mental, baik mental individu maupun mental sosial masyarakatnya. Dengan adanya perbaikan mental tentunya menjadi harapan bagi perbaikan keadaan Indonesia ke depannya, sehingga Indonesia mampu mencapai cita-cita berbangsa dan bernegara.
Gagasan revolusi mental ini sebenarnya gagasan lama yang digaungkan kembali. Gagasan ini lebih dulu diperkenalkan oleh bapak proklamator, Bung Karno, pada tahun 1957. Ini disebabkan oleh adanya degradasi semangat juang pasca kemerdekaan. Padahal tujuan dari revolusi Indonesia belum selesai, karena kemerdekaan merupakan gerbang emas, sehingga masih sangat membutuhkan semangat juang para pejuang kemerdekaan. Itulah sebabnya, Bung Karno menggaungkan revolusi mental supaya rakyat Indonesia tidak mandek dalam memperjuangkan tujuan awal yaitu mensejahterakan tumpah darah Indonesia.
Menurut Bung Karno, esensi dari revolusi mental adalah harus adanya perubahan pola pikir, cara kerja dan cara hidup dari rakyat Indonesia. Revolusi mental menurutnya ialah sebagai suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia Indonesia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali dan berjiwa api yang menyala-nyala. Bung Karno menyadari bahwa revolusi mental ini bukanlah pekerjaan sehari dua hari, melainkan sebuah proyek nasional jangka panjang dan bersifat sustainable development. Itulah sebabnya, pemerintahan baru, Jokowi-JK, sangatlah tepat telah menggaungkan kembali revolusi mental Bung Karno mengingat keadaan Republik dewasa ini.
Dewasa ini, revolusi mental, menurut saya, sebagai sebuah kebutuhan yang bersifat mendesak. Ini disebabkan oleh adanya degradasi moral dari anak bangsa yang sudah mencapai titik nadir. Sebagai contoh, korupsi semakin merajalela, tindakan asusila tak terkontrol dan sikap perilaku tak mencerminkan budaya Indonesia. Hal itu telah menjangkit hampir seluruh lapisan masyarakat dari tingkat teratas sampai terbawah. Perilaku tersebut, tentunya muncul dari adanya mental yang rusak. Rusaknya mental inilah perlu direvolusi melalui sebuah gerakan nyata kepada masyarakat.
Menurut Karlina Supelli, sekolah sebagai lembaga pendidikan menjadi lokus yang tepat untuk memulai revolusi mental. Revolusi mental tidak perlu mengubah sistem pendidikan, tetapi bisa ditempuh melalui siasat kebudayaan untuk membentuk etos warga negara. Etos menjadi sangat urgen dalam menunjang kinerja dalam melaksanakan pekerjaan. Tanpa ada etos yang berlandaskan pada nilai-nilai kehidupan bangsa, Pancasila, maka akan bisa menjadi bumerang dalam lingkungan masyarakat.
IPDN sebagai lembaga pendidikan kedinasan yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri tentunya sangat cocok dijadikan sebagai wadah memulai memperkenalkan revolusi mental. Ini disebabakan oleh IPDN memiliki praja (baca: mahasiswa) yang berasal dari hampir seluruh kabupaten/kota. Menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, pada bulan Juni 2015 yang bertepatan dengan pelantikan pamong praja muda angkatan XXII, praja IPDN akan dijadikan sebagai pelopor dari revolusi mental. Konsep dari revolusi mental menurut rektor IPDN, Suhajar Diantoro, sedang dimatangkan, karena sebenarnya revolusi mental sudah dilaksanakan sejak dulu di IPDN.
Tentunya konsep revolusi mental yang akan disiapkan oleh IPDN tidak akan mengubah sistem pendidikan IPDN, yaitu tri tunggal terpusat (pengajaran-pelatihan-pengasuhan). Namun akan lebih dimatangkan, supaya lulusan IPDN yang disebut sebagai pamong praja lebih bisa menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat yang bersifat dinamis. Sebenarnya sistem pendidikan di IPDN sudah sangat tepat untuk mencetak kader pemimpin daerah maupun pusat, karena lulusan IPDN diharuskan untuk memiliki tiga kemampuan, yaitu teoritis, legalistik dan emperik. Dengan tiga kemampuan itu, praja IPDN diyakini akan bisa memberikan warna lebih di tengah masyarakat.

Apabila melihat di lapangan, sudah banyak lulusan IPDN yang bisa berperan lebih di tengah-tengah masyarakat, yang tersebar dari Sabang-Merauke. Mereka berdiri terdepan sebagai pioner perubahan di daerah. Mereka mampu menjadi pamong yang mengayom masyarakat tanpa mengenal status. Tinggal sekarang, bagaimana pemerintah harus bisa menjaga kepemimpinan pamong praja di tengah-tengah tensi politik yang serba tak menentu. Kencangnya angin politik ini terkadang bisa mengubah sifat kepemimpinan kepamongprajaan yang sebenarnya. Pada akhirnya, konsep kepemimpinan pamong praja akan tereleminasi oleh kepentingan kasat mata, karena sudah terkontaminasi oleh mayoritas masyarakat. Untuk itulah, apabila IPDN dijadikan sebagai pelopor revolusi mental, maka sebaiknya perlu disiapkan rel yang jelas yang akan dilalui oleh para pamong praja. Apabila tidak, maka nothing konsep tersebut bisa berdiri kokoh di tengah badai politik. Artinya adalah konsep ini harus dibarangi dengan legalitas bagi para pamong praja, sehingga nilai kepamongprajaan bisa tetap terjaga dan dibumikan sebagai salah satu cara mewujudkan revolusi mental di tengah-tengah masyarakat.

PILKADA LOTENG; SEBAGAI SEBUAH MOMENTUM

oleh: Dedet Zelthauzallam
Pada akhir tahun 2015, bulan Desembar, Kabupaten Lombok Tengah akan melaksanakan pemilihan bupati dan wakil bupati. Pemilihan bupati dan wakil bupati ini harus bisa dijadikan sebagai sebuah momentum bagi masyarakat Lombok Tengah untuk memilih pemimpin yang memimpin bukan pemimpin yang berkuasa. Pemimpin yang dipilih harus yang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas yang telah teruji, supaya bisa memoles wajah Lombok Tengah dewasa ini.
Lombok Tengah dewasa ini tentunya adalah daerah yang jauh dari harapan. Ini disebabkan oleh adanya disparitas yang sangat tinggi antara Lombok Tengah dengan kabupaten lainnya yang ada di Pulau Lombok, baik dilihat dari pembangunan infrastruktur maupun non infrastruktur. Hal itulah yang menyebabkan Lombok Tengah berada di rengking dua terbawah dalam hal IPM kabupaten/kota se-NTB.
Tentunya keadaan Lombok Tengah dewasa ini perlu menjadi pertanyaan untuk dijadikan bahan intropeksi demi menunjang masa depan kabupaten yang lebih baik, karena kalau berbicara Lombok Tengah, maka daerah ini bukanlah daerah yang miskin sumber daya, tetapi sebaliknya. Ini bisa dilihat dari bagaimana bidang pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan serta pariwisata yang dimiliki sangatlah luar biasa. Potensi yang luar biasa tersebut juga ditunjang dengan adanya Bandara Internasional Lombok (BIL) di Lombok Tengah. Belum lagi daerah Lombok Tengah dijadikan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) pariwisata yang memiliki konsep yang sama seperti Nusa Dua Bali. Seharusnya Lombok Tengah dengan potensi tersebut bisa jauh lebih unggul dari daerah lainnya.
Gagalnya Lombok Tengah memanfaatkan potensi yang ada merupakan bagian dari gagalnya kepemimpinan yang ada di Lombok Tengah. Bupati dan wakil bupati Lombok Tengah harus lebih agresif dan memiliki inovasi dalam melihat peluang, karena peluang bagi Lombok Tengah sangat terbuka lebar. Sebagai salah satu contoh, pada tahun ini, Lombok Tengah akan diberikan suntikan dana 250 miliar untuk pembangunan KEK Mandalika dan tahun depan presiden menjanjikan 1,8 triliun. Dengan adanya anggaran tersebut tentunya bisa diajdikan sebagai vitamin untuk mengakselarasikan pembangunan di Lombok Tengah. Disini peran pemimpin, yaitu bupati dan wakil bupati, sangatlah besar. Untuk itulah, maka pada pemilihan tahun ini, masyarakat Lombok Tengah harus lebih selektif dalam memilih dengan melakukan filter yang ketat. Masyarakat tidak boleh terhipnotis dengan janji manis, tetapi harus melihat track record para kandidat.
Pemimpin Lombok Tengah yang diharapkan tentunya sekelas Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Tri Rismaharani (Walikota Surabaya), Azwar Anas (Bupati Banyuwangi) maupun Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng, Sulsel). Pemimpin tersebut adalah pemimpin yang mampu memoles daerahnya dengan sangat luar biasa. Mereka seperti penyihir yang bisa membuat apa yang belum dibuat, memikirkan apa yang belum dipikirkan dan yang terpenting tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Bupati Banyuwangi, Azwar Anas contohnya, beliau bisa menjadikan daerah timur ujung Pulau Jawa ini sebagai daerah ecowisata. Azwar menawarkan konsep wisata dengan menonjolkan ciri khas daerah dengan lebih melibatkan kerjasama dengan masyarakat asli, sehingga dampak yang dihasilkan bisa dirasakan langsung oleh seluruh lapisan masyarakat. Konsep tersebut terbukti mampu menaikkan pendapatan daerah Banyuwangi dari bidang pariwisata menjadi tiga kali lipat, 84 miliar menjadi 249 miliar pada tahun 2014. Dan yang terpenting mampu menekan angka kemiskinan di Banyuwangi sampai puluhan persen.

Apa yang dilakukan Azwar Anas di Banyuwangi tentunya harus menjadi patokan bagi bupati dan wakil bupati Lombok Tengah pada periode selanjutnya, supaya potensi yang ada di Lombok Tengah bisa memberikan manfaat kepada masyarakatnya bukan malah kepada masyarakat luar. Untuk menelurkan bupati dan wakil bupati sekelas Azwar Anas tentunya masyarakat Lombok Tengah harus memilih bukan karena keluarga, uang dan sejenisnya tetapi harus dengan memperhatikan kapasitas yang ada pada diri kandidat tersebut. Pilkada inilah momentum yang sangat tepat untuk bisa memilih pemimpin seperti itu. Sekarang semua ada ditangan kita, yaitu masyarakat Lombok Tengah.